Kemelut perang Rusia dan Ukraina yang berdampak pada ekspor gandum ke seluruh dunia membuat pemerintah Indonesia kini melirik sorgum sebagai alternatif lain untuk menggantikan pangan tersebut.

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pentingnya untuk mencari alternatif pangan lain untuk mengatasi krisis gandum yang tengah berlangsung mengingat sejumlah negara pengekspor gandum masih belum menunjukkan tanda-tanda akan memulai kembali pengiriman produk tersebut.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto

Airlangga menjelaskan, setidaknya terdapat sembilan negara yang menghentikan ekspor gandumnya, yakni Kazakhstan hingga 30 September, kemudian Kirgizstan, India, Afghanistan, Algeria, Kosovo, Serbia dan Ukraina sampai 31 Desember mendatang.

“Dengan demikian tentu kita harus mengembangkan tanaman pengganti ataupun substitusi dari gandum. Nah Indonesia tentu punya beberapa alternatif selain sorgum, itu bisa juga dari tanaman sagu, singkong. Oleh karena itu arahan Bapak Presiden seluruhnya perlu dipersiapkan agar kita punya substitusi dan diversifikasi dari produk tersebut,” ungkap Airlangga.

Pemerintah melihat sorgum dapat menjadi pengganti gandum untuk mengurangi ketergantungan impor terhadap produk pangan tersebut. (Foto: Ilustrasi via Reuters)

Pemerintah melihat sorgum dapat menjadi pengganti gandum untuk mengurangi ketergantungan impor terhadap produk pangan tersebut. (Foto: Ilustrasi via Reuters)

Perlahan tetapi pasti, pemerintah sudah mulai mengembangkan sorgum di dalam negeri. Hingga Juli tahun ini, sudah ada sekitar 4.355 hektare lahan yang ditanami sorgum yang tersebar di enam provinsi. Produksi di keenam lahan tersebut, ujar Airlangga, dapat mencapai 15.243 ton dengan produktivitas sekitar 3,63 ton per hektare.

Pemerintah menargetkan pada tahun ini setidaknya terdapat 15.000 hektare lahan yang sudah ditanami sorgum. Kabupaten Waingapu di Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi wilayah prioritas pengembangan sorgum.

“Dan di tahun 2023 dipersiapkan lahan sejumlah 115 ribu hektare dan di tahun 2024 sebesar 154 ribu hektare,” tuturnya.

Harga jual sorgum sendiri saat ini mencapai Rp3.500 per kilogram, dengan produktivitas sekitar empat ton per hektare. Dari jumlah produksi tersebut, ujar Airlangga, petani akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp12,5 juta dengan dikurangi biaya produksi Rp8,4 juta.

“Kalau dibuat menjadi biji kering sosoh itu (pendapatannya dapat mencapai) 9,2 juta per hektare. Harganya Rp15 ribu dan itu memberikan keuntungan sebesar Rp28 juta per panen,” jelasnya.

Ekosistem Pengembangan Sorgum

Melihat potensi yang dimiliki oleh sorgum, Presiden Joko Widodo, menurut Airlangga, telah meminta kepada Kementerian Pertanian untuk menyiapkan ekosistem pengembangan sorgum, agar memiliki keberlanjutan produksi yang cukup stabil.

Segenggam sorgum yang telah di panan di pertanian organik Gubuk Lazaris, Pare, Kediri. (Foto: Courtesy/Romo Hardo)

Segenggam sorgum yang telah di panan di pertanian organik Gubuk Lazaris, Pare, Kediri. (Foto: Courtesy/Romo Hardo)

Selain sebagai alternatif pengganti gandum dan jagung, tanaman sorgum ini juga kaya akan manfaat lain. Tanaman ini, katanya juga bisa dikembangkan menjadi bioetanol. Maka dari itu, Jokowi meminta Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM agar bisa mengembangkan tanaman sorgum menjadi bahan bakar tersebut.

“Namun tentu kita harus mendorong bahwa kapasitas luasan lahan yang diperluasan, kontinuitas produk, dan juga mendapatkan off taker. Salah satu off taker yang dipertimbangkan oleh pemerintah adalah industri pakan ternak, dimana industri pakan ternak sekarang bahan bakunya 50 persen jagung, dan 50 persen protein lain, dan tentu dari protein lain ini salah satunya sorgum bisa dijadikan untuk off taker untuk pakan ternak,” jelasnya.

Transisi dan Adaptasi

Pengamat Ekonomi CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai langkah pemerintah yang mulai melirik sorgum sebagai alternatif atau substitusi gandum memang perlu dilakukan. Meski begitu, menurutnya dibutuhkan proses transisi dan adaptasi yang tidak mudah terutama sosialisasi kepada masyarakat terkait substitusi dari gandum ke sorgum sendiri.

“Menurut saya memungkinkan, walaupun bukan substitusi full. Tapi di beberapa produk turunan gandum tertentu ada yang bisa di-switch ke sorgum, atau mungkin juga blended. Jadi tidak semua yang gandum itu diganti sorgum, karena itu sebenarnya juga tidak gampang. Misalkan mie instan, tiba-tiba diganti dari gandum menjadi sorgum itu kan tidak gampang, karena selera konsumen dan sebagainya,” ungkapnya kepada VOA.

Romo Marcelinus Hardo Iswanto, CM, menunjukkan bulir sorgum yang siap panen, di pertanian organik Gubug Lazaris, Pare, Kediri. (Foto: VOA/Petrus Riski)

Romo Marcelinus Hardo Iswanto, CM, menunjukkan bulir sorgum yang siap panen, di pertanian organik Gubug Lazaris, Pare, Kediri. (Foto: VOA/Petrus Riski)

Sejauh yang ia amati, mulai banyak produsen yang mulai berinovasi membuat produk yang awalnya hanya bisa dibuat dari gandum kemudian diganti dengan menggunakan bahan lain, seperti salah satunya adalah mie instan yang terbuat dari sayuran. Maka dari itu, substitusi dari gandum ke sorgum ini merupakan upaya jangka menengah dan panjang yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor gandum.

“Jadi kita harus menyesuaikan, harus melakukan adaptasi. Dan salah satunya adalah perlu dilakukan seperti itu, tapi itu tidak hanya merespons dalam jangka pendek, tapi untuk jangka menengah panjang,” katanya.

“Karena untuk kemudian switch ke sorgum, berarti perusahaan makanan dan minuman yang tadinya menggunakan gandum, kemudian harus beradaptasi memakai bahan baku yang lain, ini berarti mereka harus konsisten, mungkin ada perubahan dari sisi mesin misalnya, branding ke konsumennya. Jadi ini mestinya sifatnya inovasi dan adaptasi yang tidak hanya untuk kepentingan jangka pendek, jadi permanenkan transisinya,” pungkas Faisal. [gi/rs]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.