redaksiharian.com – Selama ini, tenun ikat identik sebagai wastra yang digunakan oleh orang-orang untuk acara tertentu seperti upacara adat atau mungkin pernikahan.
Namun, seiring perkembangannya zaman, tenun ikat juga bisa menjadi pilihan pakaian untuk acara-acara yang lebih santai seperti liburan .
Nah, melalui label mode berkesinambungan ( sustainable fashion ) besutannya, Ohmmbybai , desainer ternama Indonesia, Bai Soemarlono bersama rekannya Joe Lim, kembali berkreasi dengan tenun ikat.
Kali ini, ia berkolaborasi dengan organisasi nirlaba, Cita Tenun Indonesia (CTI), untuk mengubah tenun ikat menjadi outfit yang lebih nyaman dan modern saat dipakai liburan.
Ditemui dalam pagelaran busana bertajuk Pelesir , Bai pun menceritakan bahwa kegemarannya bepergian menjadi salah satu ide membuat outfit dari tenun ikat ini.
“Saya pribadi orangnya memang suka traveling dan kalau kemana-mana itu sukanya pakai kain wastra,” ujar Bai di Cork & Screw Country Club, Jakarta, Senin (29/5/2023).
“Terlebih, melihat setelah pandemi, banyak sekali orang yang menghabiskan uangnya untuk berlibur. Jadi, saya inginnya kita bisa berlibur with style gitu,” ungkap dia.
Selain itu, Bai juga mengungkapkan, kain wastra seperti tenun ikat masih terkesan seperti pakaian tradisional yang dikenakan orangtua.
Maka, untuk koleksi terbarunya ini, ia menyulap tenun ikat menjadi sesuatu yang lebih modern dan bisa dikenakan oleh siapa pun, termasuk anak muda.
“Ini tenunnya lebih kontemporer. Saya ingin anak-anak muda juga kenal dan mau pakai wastra Indonesia, makanya saya mengeluarkan koleksinya yang lebih modern,” tutur dia.
Terinspirasi dari motif serat kayu
Hal menarik lainnya dari koleksi ini adalah motifnya yang mengacu pada serat kayu pohon, atau yang juga disebut galaran .
” Galaran itu dari kata galar atau garis melengkung yang tidak putus-putus, biasanya terlihat di serat kayu,” ungkap Bai.
“Kalau di batik klasik, galaran dipakai sebagai background. Dan ini adalah salah satu motif Indonesia yang paling saya suka karena simpel namun tetap bermakna,” jelas dia.
Sementara itu, perancang busana sekaligus pengurus CTI, Dhanny Dahlan menambahkan bahwa galaran juga bagian dari motif parang.
“Parang itu kan maknanya gelombang yang selalu menerpa ke tebing, menerpa ke gunung, dan daya juangnya itu luar biasa sehingga harapannya kreasi ini akan sesuai dengan filosofinya,” kata Dhanny.
Menurut dia, pembuatan motif galaran pada tenun ikat ini juga dibantu oleh para perajin tenun berbakat, khususnya dari daerah Jawa Tengah, yang dibina sendiri oleh CTI.
Sebab, sebelumnya, para perajin di Jawa Tengah ini lebih banyak mengerjakan motif-motif untuk daerah di luar Jawa seperti Bali atau Papua.
“Jadi, kami ingin mendorong mereka untuk menciptakan motif-motif tenun khas Jawa Tengah,” imbuh dia.
Menggunakan pewarna alami
Untuk mendukung sustainable fashion, tenun ikat galaran ini dikerjakan menggunakan metode pewarnaan alami dari proses fermentasi buah jalawe (Terminalia Bellirica).
Di samping itu, tenun ikat ini juga dipadukan dengan kain batik dan lurik untuk menjadi busana siap pakai kontemporer lewat permainan struktur, akurasi teknik potong, dan lipit asimteri dengan inspirasi gaya pakaian berlibur nan santai namun apik.
“Seluruh koleksi Pelesir dapat dipakai untuk segala gender (unisex), serta dalam berbagai suasana, baik itu bekerja maupun berwisata,” ujar Bai.
Hadir kurang lebih dalam 40 koleksi, rilisan terbatas (limited) ini terbagi atas beberapa model seperti atasan, bawahan, jaket, dress, hingga outer dengan harga mulai dari Rp 2 juta – Rp 5 juta.