redaksiharian.com – – Ketua Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Said Abdullah berharap, Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2024 bisa mempertimbangkan tiga hal utama.

“Kita berharap KEM-PPKF yang akan segera dibahas bersama ini mempertimbangkan perkembangan dinamika perekonomian global dan domestik, tantangan dan risiko yang masih harus dihadapi, serta sasaran pembangunan ekonomi nasional,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (30/5/2023).

Dengan begitu, lanjut Said, Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2024 yang akan disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) pada Agustus 2023 dapat mencerminkan keberlanjutan pembangunan nasional yang berkesinambungan .

Pernyataan tersebut disampaikan Said saat menghadiri Rapat Kerja Badan Anggaran dengan pemerintah dalam rangka pembicaraan pendahuluan KEM-PPKF Tahun 2024.

Pembahasan pembicaraan pendahuluan KEM-PPKF Tahun 2024 merupakan rangkaian proses penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN terakhir di bawah pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden (Wapres) RI Ma’ruf Amin yang akan berakhir pada Oktober 2024.

“Nota Keuangan dan APBN tahun 2024 ini nantinya akan mengantarkan proses transisi kepemimpinan menuju pemerintahan baru,” imbuh Said.

Ia mengungkapkan, bangsa Indonesia telah melewati situasi ekonomi paling sulit dan rumit yang pernah dihadapi dalam beberapa dekade terakhir.

Oleh karenanya, seluruh pihak patut mengapresiasi pemerintah, DPR, Tentara Nasional Indonesia-Kepolisian Negara Republik Indonesia (TNI-Polri) dan lembaga negara lainnya.

“Pasalnya, seluruh komponen bangsa tersebut bahu membahu untuk menjaga perekonomian nasional tetap stabil dan mampu pulih lebih cepat meski berada di tengah berbagai permasalahan global,” imbuh Said.

Permasalahan tersebut, lanjut dia, mulai dari badai besar yang melanda perekonomian global selama berlangsungnya pandemi Covid-19 dari 2020 hingga 2022.

Kemudian, adanya konflik geopolitik perang antara Rusia dan Ukraina dari tahun 2022 hingga saat ini.

Meski berat, kata Said, Indonesia mampu melewatinya dengan mencatat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,32 persen pada akhir 2022. Persentase ini telah melampaui angka pertumbuhan ekonomi sebelum terjadinya pandemi Covid-19.

“Namun, kita patut bercermin, pertumbuhan ekonomi nasional cenderung tertahan di angka 5 persenan selama beberapa tahun terakhir ini,” ujar Said.

Untuk itu, ia menyarankan pemerintah untuk memeriksa lebih lanjut permasalahan ekonomi nasional agar dapat keluar dari jebakan pertumbuhan 5 persen.

Menurut Said, pemerintah harus bisa menemukenali the most binding constraint (kendala yang paling mengikat) yang menjadi trigger perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Apabila mencermati hasil sementara dari kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas), teridentifikasi beberapa hal sebagai kendala yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

“Analisis itu dengan menggunakan pendekatan growth diagnostics. Pertama ditengarai dari regulasi yang tumpang tindih, dan relatif tertutup,” ujar Said.

Kedua, lanjut dia, rendahnya kualitas institusi, khususnya dalam hal koordinasi kebijakan.

Ketiga, rendahnya ketersediaan tenaga kerja terampil, infrastruktur yang belum sepenuhnya menciptakan konektivitas semua wilayah.

“Keempat, rendahnya penerimaan perpajakan dan belanja negara,” ucap Said.

Said mengungkapkan bahwa keseluruhan masalah di atas bukan persoalan baru.

“Tidak kurang kurang DPR memberikan dukungan penuh kepada pemerintah untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi,” ucapnya.

DPR RI, lanjut dia, memberikan dukungan penuh pembahasan hingga persetujuan Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU Nomor Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.

Said menjelaskan, beleid tersebut memangkas banyak aturan agar menciptakan iklim kemudahan berusaha dan investasi.

“Sejak 2003, kita mengafirmasi anggaran pendidikan 20 persen dari belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) unggul,” jelasnya.

Gelorakan pembangunan infrastruktur

Sejak masa Presiden Jokowi, Said mengatakan, pemerintah menggelorakan pembangunan infrastruktur di seluruh Tanah Air.

Penargetannya, kata dia, seluruh wilayah Tanah Air terhubung satu sama lain melalui berbagai moda transportasi dan komunikasi secara efisien.

“Efisiensi ini diharapkan memberikan sumbangan ongkos lebih murah pada produksi barang dan jasa,” imbuh Said.

Selain itu, DPR juga telah memberikan dukungan pengesahan atas UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD).

Pengesahan tersebut, kata Said, dilakukan agar penerimaan perpajakan lebih berkualitas dan belanja negara tersinkronisasi untuk mewujudkan dampak pembangunan lebih luas.

“Harus kita akui, ada sejumlah kemajuan namun masih menggelayut sejumlah tantangan yang belum teratasi meskipun telah mendapatkan dukungan segenap peraturan dan program di atas,” ucapnya.

Menurut Said, terlalu dini menyatakan UU HPP bisa mengungkit rasio perpajakan pada 2022.

Meski demikian, ia tak menampik bahwa terjadi lompatan tax ratio dari sebesar 9,77 persen PDB pada 2019 menjadi 10,99 persen PDB pada 2022.

“Namun kita harus hati hati meletakkan asumsi peningkatan ini hanya karena dukungan dari UU HPP. Sebab, lonjakan pendapatan negara pada 2022 lebih besar disumbang dari kenaikan berbagai harga komoditas ekspor kita ke pasar global,” ucap Said.

Pada 2022, lanjut dia, neraca perdagangan juga mencatatkan rekor tertingginya, mencapai sebesar 54,5 miliar dollar Amerika Serikat (AS).

Hingga April 2023, neraca perdagangan Indonesia sudah mencatatkan surplus selama 36 bulan berturut-turut.

“Walau begitu kami berkeyakinan UU HPP secara struktural akan membantu perbaikan sistem perpajakan kita ke depan,” imbuh Said.

Dengan begitu, lanjut dia, cita-cita rasio perpajakan di Indonesia bisa lebih kompatibel dan akseleratif dengan sistem perekonomian akan lebih nyata adanya.

Persoalan kualitas SDM

Dalam kesempatan tersebut, Said menilai, persoalan kualitas SDM masih menjadi tantangan serius yang harus dicari solusinya.

“Dari 135,3 juta penduduk kita yang bekerja, sebanyak 38,8 persen lulusan sekolah dasar (SD) ke bawah. Inilah beban kenapa PDB kita terus tertahan di 5 persenan,” ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia, lanjut Said, sulit melompat padahal 20 persen belanja APBN tarlokasi untuk pendidikan.

Oleh karena itu, ia meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa untuk memikirkan strategi kebijakan agar kualitas SDM di Indonesia, khususnya pendidikan, bisa lebih cepat naik kasta.

“Bukankah kemajuan SDM China meniru kebijakan yang ditempuh oleh Presiden Soekarno. Pada 8 Juli 1983, Presiden Den Xiaoping menyampaikan pidatonya terkenalnya, “Introducing Foreign Intelligence and Extending Opening-up”. Hasil dari pidato ini adalah kebijakan sending in dan sending out,” paparnya.

“Tiongkok membuka diri atas masuknya tenaga kerja asing untuk melakukan modernisasi sektor sektor strategis yang menjadi program utama pemerintah,” imbuh Said.

Pada saat yang sama, lanjut dia, pemerintahan Deng Xiaoping mengirimkan ratusan ribu rakyat China untuk belajar ke 50 kampus ternama di dunia, khusus untuk belajar science dan teknologi.

Terhitung sejak masa Deng Xiaoping hingga awal Pemerintahan Hu Jintao awal tahun 2004 lebih dari 450.000 rakyat Tiongkok lulus dari kampus kampus Harvard, Columbia, Princeton, John Hopkins, MIT, Caltech, Oxford, Cambridge dan Berlin.

“Dan kini kita bisa saksikan lompatan teknologi yang dikuasai Tiongkok,” jelas Said.

Untuk itu, ia mengimbau pemerintah agar terus mendorong pembangunan yang terus digelorakan oleh Presiden Jokowi sejak 2015 itu hingga memberikan penurunan incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia yang masih di atas 6 persen.

Pembangunan infrastruktur, lanjut dia, perlu terus dilanjutkan. Namun, pada tahun terakhir masa pemerintahan Presiden Jokowi harus bisa fokus pada penurunan ICOR.

“Apalagi pada sisi regulasi telah mendapatkan dukungan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu UU Nomor Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Harusnya penurunan itu lebih progresif,” ucap Said.

Keberlanjutan pembangunan infrastruktur

Said mengungkapkan bahwa tantangan Indonesia pasca-2024 adalah keberlanjutan pembangunan infrastruktur dari komitmen pemerintahan berikutnya.

“Oleh sebab itu, kita perlu menegaskan pentingnya komitmen politik, khususnya di DPR, untuk senantiasa memastikan energi bagi kelangsungan pembangunan infrastruktur,” ucapnya.

Utamanya, pembangunan yang mendorong daya saing produk dan jasa dari Indonesia lebih kompetitif di pasar global, dan berkontribusi besar pada lompatan pertumbuhan ekonomi nasional.

Ia menjelaskan, perekonomian AS sebagai raksasa ekonomi dunia belakangan ini sedang tidak baik.

“Pemerintahan Presiden Joe Biden terancam gagal bayar utang. Bila hal ini sampai terjadi akan berimbas dollar dan pasar saham AS bisa jatuh, serta naiknya bunga pinjaman,” ucap Said.

Di tengah isu merosotnya kewibawaan dollar AS, Said menyayangkan nilai tukar rupiah pada 2022 mencapai masih terdepresiasi dengan rata-rata 3,9 persen.

Kendati demikian, kata Said, tekanan tersebut masih jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara, seperti Ringgit Malaysia (6,2 persen), Lira Turki (86,4 persen), dan bahkan Rupee India (6,4 persen).

“Bila kita lihat pada grafik waktu yang panjang, sesungguhnya rupiah cenderung terdepresiasi atas dollar AS,” tuturnya.

Oleh sebab itu, lanjut Said, pemerintah dan Bank Indonesia harus kian menguatkan komitmen untuk penggunaan local currency transaction (LCT).

Apalagi, Indonesia telah merintis lama melalui Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA) dengan beberapa bank sentral negara negara tetangga di Asia dan Australia.

“Sudah saatnya penggunaan LCT diperluas dan diperkuat. Hal ini semata mata sebagai jalan kita untuk mengurangi kecanduan terhadap penggunaan dollar AS,” imbuh Said.

Ia mengungkapkan bahwa semua pihak menginginkan transaksi pembayaran lebih mengokohkan sistem keuangan nasional.

Dengan begitu, dampak gonjang ganjing di AS tidak berimbas luas pada perekonomian nasional.

“Barangkali sudah eranya kita meniti tata kesimbangan baru pada urusan moneter. Besar kemungkinan tahun depan, musim booming harga komoditas dan inflasi tinggi telah berlalu. Banyak negara sedang melalui fase tren penurunan inflasi,” ucap Said.

Di AS, puncak inflasi terjadi pada Juni 2022 di level 9,1 persen. Setelah itu, angkanya turun menjadi 6.4 persen pada Januari 2023 dan menjadi 4,9 persen pada April 2023.

Tren serupa terlihat di Eropa, ketika puncak inflasi berada di level 10,6 persen pada Oktober 2022 dan turun bertahap menjadi 7 persen pada April 2023.

“Tikungan kritis inflasi telah kita lalui, pada saat Ramadhan dan Lebaran 2023 yang seharusnya inflasi ‘musiman’ naik, justru pada Maret 2023 inflasi Indonesia turun menjadi 4,97 persen, dari bulan sebelumnya 5,47 persen,” ucap Said.

Kemudian, pada April 2023, lanjut dia, inflasi Indonesia kembali turun menjadi 4,33 persen.

Menurut Said, penurunan inflasi tanpa harus ditolong dengan kenaikan dramatis interest rate patut untuk disyukuri.

Hal tersebut, kata dia, tentunya berkat kerja sama semua pihak. Oleh karenanya, ia optimistis inflasi di Indonesia akan tetap berada di kisaran 3 persen pada tahun depan.

Postur KEM dan PPKF 2024

Said menyampaikan, pemerintah telah mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro yang akan digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan RAPBN TA 2024 dalam bentuk range.

Rinciannya, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen hingga 5,7 persen, inflasi sebesar 1,5 persen hingga 3,5 persen, nilai tukar Rupiah Rp 14.700 hingga Rp 15.300 per dollar AS, tingkat suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 6,49 hingga 6,91 dollar AS.

Kemudian, harga minyak mentah Indonesia sebesar 75 hingga 85 dollar AS per barel, lifting minyak bumi sebesar 597.000 hingga 652.000 barel per hari dan lifting gas sebesar 999.000 hingga 1,054 juta barel setara minyak per hari.

Dalam KEM dan PPKF 2024, Said mengatakan, pemerintah mengusulkan pendapatan negara antara 11,81 persen hingga 12,38 persen dari PDB. Sementara belanja negara, mencapai rentang antara 13,97 persen hingga 15,01 persen dari PDB.

Keseimbangan primer berada pada kisaran defisit 0,43 persen hingga surplus 0,003 persen dari PDB.

“Sedangkan defisit direncanakan berkisar 2,16 persen hingga 2,64 persen dari PDB. Sementara itu, rasio utang dalam kisaran 38,07 persen hingga 38,97 persen dari PDB,” ujar Said.

Melalui KEM-PPKF 2024, lanjut dia, pemerintah mengusulkan tingkat pengangguran terbuka tahun 2024 pada kisaran 5,0 persen hingga 5,7 persen.

Sementara itu, angka kemiskinan diusulkan berada pada rentang 6,5 persen hingga 7,5 persen.

“Rasio gini diperkirakan dalam rentang 0,374 hingga 0,377. Indeks pembangunan manusia (IPM) pada tahun 2024 juga ditargetkan sekitar 73,99 hingga 74,02,” imbuh Said.

Selain itu, lanjut dia, nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar nelayan (NTN) juga ditargetkan untuk terus meningkat, masing-masing pada rentang 105 hingga 108 dan 107 hingga 110.

Menghapus tingkat kemiskinan ekstrem

Selain usulan angka angka tersebut, Said mengungkapkan, pemerintah juga menjanjikan terhapusnya tingkat kemiskinan ekstrem pada tahun 2024 capai 0 persen.

“Walaupun angkanya terus mengalami penurunan, tetapi angka kemiskinan ekstrem di Indonesia masih tergolong tinggi. Pada Maret 2022, tingkat kemiskinan ekstrem sebesar 2,04 persen atau 5,59 juta jiwa,” ucapnya.

Perhitungan angka kemiskinan ekstrem, lanjut dia, masih menggunakan angka purchasing power parity (PPP) 200 sebesar 1,9 dollar AS.

Sementara itu, negara berpenghasilan menengah ke bawah sudah menggunakan basis ukuran 3,2 dollar AS per hari.

“Peralihan PPP menjadi 3,2 dollar AS per hari dikhawatirkan akan berdampak terhadap jumlah kemiskinan ekstrem yang semakin meningkat,” imbuh Said.

Sejalan dengan upaya dasar meningkatkan kualitas SDM Indonesia, pemerintah harus masih berjibaku mengatasi persoalan stunting.

Said membenarkan bahwa ada tren penurunan prevalensi stunting nasional dari 27,7 persen pada 2018 menjadi 24,4 persen pada 2021.

Namun, persentase tersebut masih terasa jauh jika mengacu target penurunan stunting sebesar 14 persen pada 2024.

“Kita senang pemerintah memiliki target besar penurunan stunting lebih progresif. Namun kita belum effort yang seragam dari multi stakeholder strategis,” imbuh Said.

Menurutnya, pekerjaan penurunan stunting bukan hanya menjadi urusan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saja, tetapi juga sejumlah pihak lain. Contohnya adalah dukungan air bersih yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR).

“Program ini juga memerlukan kualitas pangan yang baik, yang menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian (Kementan) dan badan pangan,” ucapnya.

Selain itu, terdapat komitmen masing-masing pemerintah daerah (pemda) sangat berbeda-beda.

“Ada komitmen para kepala daerah, seperti di Surabaya, Surakarta, Tulungagung, yang para kepala daerahnya memiliki atensi besar bagi upaya penurunan stunting. Namun, tidak sedikit kepala daerah lain yang tidak paham apa itu stunting,” tuturnya.

Situasi tersebut, lanjut Said, tentu menjadi tantangan serius bagi pemerintah mencapai target.

Program perlindungan sosial dan subsidi

Selain stunting, Said mengungkapkan bahwa program perlindungan sosial (perlinsos) dan subsidi juga perlu mendapat perhatian dari pemerintah, terutama akurasi dan ketepatan data.

Pada program perlinsos dan subsidi, pemerintah perlu terus menyempurnakan basis data penerima keseluruhan program perlindungan sosial dan subsidi agar tepat waktu dan sasaran.

Dengan begitu, lanjut Said, program perlinsos dan subsidi memiliki peran optimal untuk melindungi rumah tangga miskin dari guncangan ekonomi seperti inflasi.

Ia mengungkapkan bahwa exclusion dan inclusion error tidak boleh lagi terjadi dalam pengalokasian semua program perlindungan sosial dan subsidi pada 2024.

Said juga berharap pemerintah senantiasa mengelola utang secara hati-hati dengan risiko yang terkendali melalui komposisi optimal, baik mata uang, suku bunga, maupun jatuh tempo.

Ia menjelaskan, posisi utang pemerintah Indonesia mencapai Rp 7.848,8 triliun per 31 April 2023.

“Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) kita mencapai 38,15 persen,” imbuh Said.

Selain itu, lanjut dia, porsi bunga utang terhadap PDB juga mengalami peningkatan pada kisaran 2,0 persen.

Said mengungkapkan, pembayaran bunga utang dalam APBN 2023 akan mencapai Rp 441,4 triliun atau 2,10 persen dari PDB dengan tingkat pertumbuhan mencapai 14,25 persen.

“Meskipun sejauh ini utang pemerintah terpola dengan baik, dan jauh dari batas atas 60 persen PDB,” tuturnya.

Oleh karenanya, sambung Said, pemerintah perlu membuat roadmap yang jelas dan terukur untuk mengurangi utang yang semakin membesar. Hal ini bertujuan agar utang besar tersebut tidak menjadi beban bagi generasi berikutnya.