redaksiharian.comJakarta, CNBC Indonesia – Dalam dua tahun terakhir di Indonesia konsep childfree menjadi perbincangan publik. Sesuai namanya, konsep ini diputuskan pasangan untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka. Setiap pasangan tentu memiliki alasan tertentu ketika tak ingin memiliki anak dalam hubungan pernikahan mereka. Tak ada benar atau salah. Namun yang pasti keputusan untuk tak punya anak harus menjadi keputusan bersama pasangan.

Sebagai konsep, menelusuri sejarah childfree adalah usaha yang menantang. Sebab keputusan untuk tidak memiliki anak selalu ada seiring sejarah manusia itu sendiri. Banyak keluarga yang memang punya keputusan demikian, dan tidak tercatat dalam sejarah.

Sejarawan Rachel Chrastil di Washington Post menyebut kalau childfree memiliki perbedaan arti di masa lalu. Yakni, diartikan sebagai para wanita, sudah menikah atau belum, yang tidak ingin membesarkan anak. Hal ini pernah menjadi kelaziman di perkotaan dan perdesaan Eropa pada awal tahun 1500-an. Biasanya ini terjadi pada perempuan yang memilih berkarier dibanding menikah muda, seperti kebiasaan perempuan saat itu.

Mereka yang memilih bekerja hanya fokus pada kariernya saja. Sekalipun memutuskan untuk menikah mereka sama sekali tidak terpikirkan untuk mempunyai anak. Kecenderungan ini bertahan hingga lama. Namun, tetap saja secara statistik angkanya jauh lebih rendah dibanding mereka yang memiliki anak.

Namun, dalam penelusuran Rachel, keputusan childfree yang ditandai dengan menurunnya angka kelahiran terjadi pada kurun 1800-an di Eropa dan Amerika Serikat. Ini tentu disebabkan oleh pesatnya industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Kini, para perempuan sudah masuk industri, sehingga cenderung nyaman hidup sendiri karena sudah memenuhi standar kehidupan yang lebih baik. Sekalipun sudah menikah, keputusan childfree tetap tak goyah.

Menurut Donald T. Rowland dalam “Historical Trends in Childlessness” (Journal of Family Issues, 2007), childfree pada tahun 1800 sampai 1900-an tidak menjadi kontroversi. Sebab, mereka tinggal dalam lingkungan keluarga besar yang selalu ramai. Meskipun tidak ada anak, tidak akan menjadi masalah. Hal ini tentu berbeda di masa kini.

Sepanjang sejarah tren childfree memang naik-turun. Pada era setelah perang dunia II (1939-1945), misalnya, angka kelahiran di seluruh dunia meningkat drastis. Namun, seiring ditemukannya alat kontrasepsi dan tersebarluasnya pemikiran childfree di dunia, tren ini kembali meningkat.

Ketika keputusan childfree mengalami peningkatan di Barat pada kurun 1800-an, di Indonesia tidak demikian. Sebab, di Indonesia pada kurun waktu tersebut ada filosofi “Banyak Anak Banyak Rezeki”. Jelas, filosofi ini bertentangan dengan konsep childfree. Asal-usul filosofi ini berawal dari masa cultuurstelsel atau tanam paksa yang terjadi pada tahun 1830-1870.

Hadirnya kewajiban tersebut membuat penduduk pribumi mempunyai anak banyak. Sebab, semakin banyak anak artinya tenaga kerja juga bertambah. Artinya, semakin banyak pula keuntungan yang didapat.

Tingginya angka demografis ternyata disengaja untuk memenuhi banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan pada tanaman agroindustri khususnya tebu dan kopi yang diwajibkan pada para petani,” tulis Sejarawan Peter Boomgard dalam Children of the colonial state : population growth and economic development in Java, 1795-1880.

Beranjak dari sinilah tak heran kalau pada masa dahulu banyak orang tua memiliki anak lebih dari 10. Perlahan, pandangan ini pun terus mengakar di kehidupan keseharian masyarakat Indonesia sampai Indonesia merdeka tahun 1945 yang mengandalkan agraris sebagai mata pencaharian utama. Barulah mulai mengalami penurunan ketika alat kontrasepsi diperkenalkan dan terjadi perubahan pola dari agraris ke industri sejak tahun 1960-an.

Karena terjadi perubahan itulah, sama seperti pola yang terjadi di Eropa dan AS sebelumnya, konsep childfree mulai tersebar luas.