Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengulangi seruan kepada China agar mematuhi putusan arbitrase 2016 yang membatalkan klaim luas Beijing di Laut China Selatan. Ia juga memperingatkan bahwa Washington berkewajiban untuk membela sekutunya, Filipina, jika pasukan, kapal atau pesawatnya diserang di perairan sengketa.
Pernyataan Blinken, yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar AS di Manila pada hari Selasa (12/7), dirilis pada peringatan enam tahun putusan sebuah mahkamah arbitrase yang dibentuk di Den Haag di bawah Konvensi PBB mengenai Hukum Laut, setelah pemerintah Filipina pada tahun 2013 mengadukan tindakan China yang semakin agresif di laut sengketa.
China tidak berpartisipasi dalam arbitrase itu, menolak putusan yang disebutnya palsu dan terus menentangnya, membawanya ke perselisihan teritorial dengan Filipina dan negara-negara Asia Tenggara yang juga mengklaimnya dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami kembali meminta China untuk mematuhi kewajibannya di bawah hukum internasional dan menghentikan perilaku provokatifnya,” kata Blinken.
“Kami juga menegaskan kembali bahwa serangan bersenjata terhadap angkatan bersenjata Filipina, kapal publik, atau pesawat udara di Laut China Selatan akan mendorong diberlakukannya komitmen pertahanan bersama AS” di bawah Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Filipina tahun 1951, kata Blinken.
Selain China dan Filipina, Vietnam, Malaysia, Taiwan dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih di jalur air yang sibuk itu, yang diyakini kaya akan cadangan gas dan minyak bawah laut, dan di mana perdagangan dan barang-barang bernilai $5 triliun diperkirakan melaluinya setiap tahun.
Wilayah sengketa ini menjadi hal utama dalam persaingan AS-China.
Washington tidak mengklaim perairan sengketa itu tetapi telah mengerahkan kapal-kapal Angkatan Laut dan jet-jet Angkatan Udara untuk berpatroli di perairan itu selama puluhan tahun, dan menyatakan kebebasan navigasi serta penerbangan di kawasan sengketa itu merupakan kepentingan nasional AS. Ini telah memicu reaksi marah dari China, yang menuduh AS turut campur dalam sengketa di Asia dan memperingatkan AS agar menjauh.
Menteri Luar Negeri Filipina Enrique Manalo Selasa mengatakan bahwa putusan arbitrase akan menjadi pilar kebijakan dan tindakan pemerintahan baru negara itu di wilayah sengketa dan menolak upaya-upaya untuk melemahkan keputusan “yang tak terbantahkan” tersebut.
China kemungkinan besar tidak akan menyukai sikap yang dikemukakan Manalo mengenai kebijakan pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr., yang mulai menjabat 30 Juni lalu setelah menang telak dalam pemilu. [uh/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.