Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pendapatan negara hingga Juli 2022 mencapai Rp1.551 triliun, sedangkan belanja mencapai Rp1.444,8 triliun. Dengan demikian APBN pada Juli 2022 mengalami surplus sebesar Rp106,1 triliun.

Sri Mulyani merinci pendapatan negara berasal dari penerimaan pajak Rp1.028,5 triliun, kepabeanan dan cukai Rp185,1 triliun, dan PNBP sebesar Rp337,1 triliun.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani. (Kemenkeu)

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani. (Kemenkeu)

“Pajak tahun lalu hanya mengumpulkan Rp647,7 triliun sampai Juli 2021, sekarang Rp1.028,5 triliun. Jadi kenaikannya melonjak,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers daring, Kamis (11/8/2022).

Dari sisi belanja, Sri Mulyani menjelaskan belanja terbesar masih berasal dari belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp1.031,2 triliun. Rinciannya belanja kementerian lembaga Rp490,7 triliun dan belanja non-kementerian lembaga mencapai Rp540,6 triliun. Adapun tranfer ke daerah mencapai Rp371,9 triliun dan dana desa Rp41,7 triliun.

Infografis Kementerian Keuangan

Infografis Kementerian Keuangan

“Ini yang terus kita jaga supaya kesehatan APBN akan menjadi faktor menciptakan sentimen positif sehingga pemulihan ekonomi terus berlangsung. Padahal kondisi dunia sedang tidak baik-baik saja,” tambahnya.

Kendati demikian, Kementerian Keuangan memperkirakan surplus APBN pada semester 2 dapat mengalami penurunan seiring dengan akselerasi belanja negara. Namun, Sri Mulyani berharap kinerja APBN yang baik pada semester 1 dapat menjadi modal APBN pada semester 2. Ia berharap dengan kinerja baik ini, nantinya defisit APBN pada akhir tahun bisa di level 3,9 persen atau lebih rendah dari target 4,5 persen.

Pengamat: Jangan Bangga dengan Surplus

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira meminta pemerintah tidak membanggakan surplus APBN pada Juli 2022. Sebab, ia melihat sejumlah tanda-tanda defisit APBN pada semester dua 2022. Antara lain dikarenakan harga komoditas andalan yang menyumbang penerimaan pajak dan PNBP akan mengalami penurunan. Ini seiring dengan situasi ekonomi global yang mengalami resesi sehingga sektor-sektor usaha internasional akan mengalami kelesuan.

“Ini yang membuat permintaan komoditas turun yang dapat berpengaruh terhadap penerimaan pajak,” jelas Bhima kepada VOA, Kamis (11/8/2022).

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. (Foto: VOA)

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira. (Foto: VOA)

Faktor lainnya, kata Bhima, yaitu pola pencairan anggaran yang akan dilakukan pada semester dua yang dapat berakibat defisit APBN menjadi semakim lebar. Belum lagi, subsidi energi yang direncanakan mencapai Rp520 triliun hingga akhir tahun ini, dan diprediksi bisa meningkat hingga Rp600 triliun.

Karena itu, ia menyarankan pemerintah melakukan sejumlah langkah untuk menjaga kinerja APBN tetap positif. Salah satunya dengan mendorong penerimaan negara dari pajak dengan mengejar orang-orang kaya yang tidak patuh membayar pajak. “Ini harusnya dikejar kepatuhan pajaknya. Pemerintah juga sudah ada kerja sama pertukaran data antar negara,” tambahnya.

Menurut Bhima, data kerjasama dengan negara lain dapat dimanfaatkan untuk melakukan penyidikan pajak. Sehingga kenaikan kontribusi pajak tersebut nantinya dapat mengganti potensi kehilangan pendapatan dari harga komoditas yang akan turun.

Selain itu, kata dia, pemerintah juga perlu mendorong industri manufaktur untuk mencari pasar ekspor alternatif. Sebab, sumber penerimaan pajak, 30 persen di antaranya berasal dari industri manufaktur. Harapannya dengan pasar baru akan berkontribusi terhadap penerimaan pajak yang lebih baik.

Di luar itu, Bhima menyarankan pemerintah untuk menunda terlebih dahulu proyek-proyek strategis nasional dan Ibu Kota Negara baru untuk menjaga uang fiskal tersedia. Sehingga ketika ekonomi memburuk, pemerintah masih memiliki cadangan untuk stimulus ekonomi seperti perlindungan sosial.[sm/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.