redaksiharian.com – Pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( KDRT ) meninggalkan penderitaan dan trauma mendalam pada korbannya.

Tindakannya tidak hanya melukai fisik namun juga merusak mental dan masa depannya.

Tak jarang, korban KDRT sulit melanjutkan kehidupannya karena terbayang-bayang dengan pengalaman buruknya di masa lalu.

Kekerasan domestik memang menyebabkan seseorang kehilangan harapan karena berbagai implikasinya termasuk muncul rasa rendah diri dan tidak berharga.

Dengan berbagai dampak buruknya itu, apakah pelaku KDRT layak dimaafkan?

Memaafkan pelaku KDRT tidak bisa dipaksakan

Psikolog keluarga, Lucia Peppy Novianti, M. Psi mengatakan konsep memaafkan adalah hal normatif sehingga penerapannya kembali kepada setiap individu, terutama korban yang mengalaminya.

Dalam perspektif kemanusiaan maka sewajarnya manusia saling memaafkan namun tidak semudah itu diberlakukan untuk kasus KDRT.

Alasannya, kekerasan yang dilakukan memberikan dampak yang luar biasa pada diri korban.

“Apakah salah bila korban berada pada titik tidak mampu memaafkan?”ujarnya, dalam diskusi dengan Kompas.com, kemarin.

“Sebagai seorang manusia, sangat mungkin tidak mampu memaafkan ketika diri atau orang terdekat menjadi korban atas KDRT tersebut,” jelas Lucia.

Namun ia berpesan, penting untuk menggunakan empati saat memahami korban KDRT terkait persoalan memaafkan ini.

Founder layanan psikologis Wiloka Workshop ini menekankan agar memakai perspektif korban, bukan cara pandang atau perspektif kita.

“Bisa saja apa yang menurut kita masih kategori ‘biasa’ saja ternyata sudah sangat melukai. Atau sebaliknya,” kata Lucia, yang mengambil studinya di Universitas Gadjah Mada ini.

Jika berusaha memberikan dukungan pada korban, kita diminta untuk tidak memaksakan segala sesuatunya, termasuk harus memaafkan pelaku.

“Memberikan dukungan itu berbeda dengan mengarahkan dalam mengambil keputusan, apalagi memaksa untuk segera memaafkan,” jelasnya lagi.

Tak perlu batas waktu

Seringkali, memaafkan dianggap sebagai upaya untuk melupakan masa lalu dan beralih ke masa depan.

Hal ini juga yang sering salah disampaikan pada korban KDRT dengan dalih agar bisa segera move on dari pengalaman buruknya.

Akan tetapi, prinsip ini tidak bisa diberlakukan jika berkaitan dengan trauma yang dialami oleh korban kekerasan dalam hubungan .

Mereka boleh saja tidak memaafkan pelaku atas tindakannya selama ini, jika memang belum bisa.

Di sisi lain, jika korban ingin memberikan maaf maka biarkan proses dan waktunya ditentukan sendiri.

“Adalah hak semua orang sebetulnya untuk memutuskan kapan sudah siap memaafkan kan?” kata Lucia.

“Hanya saja seringterjadi penghakiman terhadap korban lagi ketika korban belum siap memaafkan,” ujarnya.

Hal ini yang biasanya memperburuk tekanan yang korban rasakan sehingga berdampak pada kondisi mentalnya.