Presiden Jokowi akhirnya buka suara terkait rencana kenaikan harga BBM. Menurutnya, kebijakan semacam ini harus diputuskan dengan sangat hati-hati karena menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Ini menyangkut hajat hidup orang banyak, jadi semuanya harus diputuskan secara hati-hati, dikalkulasikan dampaknya,” ungkap Jokowi di Jakarta, Selasa (23/8).
Mantan Walikota Solo ini menjelaskan, pemerintah saat ini sedang melakukan perhitungan dengan seksama. Ia tidak ingin kenaikan harga BBM tersebut malah membuat masyarakat miskin semakin terpuruk.
“Jangan sampai dampaknya menurunkan daya beli rakyat, menurunkan konsumsi rumah tangga, kemudian juga nanti yang harus dihitung juga menaikkan inflasi yang tinggi kemudian bisa menurunkan pertumbuhan ekonmi. Semuanya saya suruh hitung betul, sebelum diputuskan,” jelasnya.
Sebelumnya, Jokowi kerap berbicara mengenai beratnya beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang menanggung subsidi energi dan dana kompensasi hingga Rp502 triliun pada tahun ini. Jokowi bahkan mengklaim, belum ada negara manapun yang menanggung subsidi energi sebesar Indonesia. Ia khawatir, apabila situasi global semakin memburuk, APBN tidak sanggup lagi untuk menanggung beban subsidi energi tersebut.
Opsi Kenaikkan Harga BBM Tidak Terelakkan
Ekonom Indef Eko Listyanto menilai kebijakan untuk menaikkan harga BBM memang harus dilakukan, karena harga keekonomiannya di tingkat global sudah jauh di atas harga BBM subsidi di dalam negeri.
Apabila harga BBM subsidi ini tidak dinaikkan, kata Eko, akan berdampak pada beban APBN yang sangat berat sehingga bisa menjadi schock absorber bagi anggaran negara.
“Cuma tentu saja harus dilihat kenaikannya juga jangan terlalu drastis, karena stiuasi saat ini dimana pemulihan ekonomi Indonesia menurut saya belum cukup stabil sehingga kalau terganggu dengan kenaikan harga BBM atau energi memang sedikit banyak akan mengurangi dari laju pertumbuhan ekonomi. Tetapi kalau tidak dilakukan penyesuaian maka implikasinya bisa terjadi kelangkaan-kelangkaan BBM yang ini justru akan bereskalasi kepada bentuk ketidakpastian yang lain, mungkin bahkan tidak hanya aspek ekonomi, tapi aspek sosial dan politik. Ini yang harus diantisipasi,” ungkap Eko kepada VOA.
Ia mengatakan, perlindungan sosial yang diberikan oleh pemerintah berupa bantuan sosial haruslah dibagikan dengan cepat dan tepat kepada orang yang berhak menerimanya seperti masyarakat miskin. Menurutnya, bansos yang ada sejauh ini relatif cukup untuk bisa membuat masyarakat miskin bertahan atau minimal terdampak.
“Ini saya rasa bisa menjadi bantalan, walaupun tentu kalau 100 persen meniadakan dampaknya tidak bisa karena dengan kenaikan BBM akan diikuti dengan kenaikan harga. Tapi setidaknya kalau masyarakat miskin ini dengan naiknya harga kebutuhan pokok kalau ada bansos itu secara umum akan membantu mereka agar tidak terlalu dalam kena dampak dari kenaikan harga BBM,” jelasnya.
Lebih jauh, Eko mengatakan bahwa sejauh ini subsidi BBM sering kali tidak tepat sasaran, dimana pengguna pertalite kerap dinikmati oleh kalangan masyarakat yang mampu. Maka dari itu, menurutnya, kalangan masyarakat menengah ke atas sudah seharusnya berbagi beban dengan pemerintah, karena anggaran negara tidak bisa seluruhnya hanya digunakan untuk menanggung subsidi energi saja.
“Masyarakat menengah ke atas harus mengetahui bahwa APBN ini tidak hanya untuk subsidi energi. Ada banyak aspek yang lebih urgent seperti mungkin tadi persoalan kemiskinan, kesehatan yang masih dalam suasana pandemi, serta aspek sosial lainnya termasuk juga untuk peningkatan kualitas SDM di pendidikan, mengatasi stunting yang itu lebih urgent, sehingga masyarakat kelas menengah atas yang mereka punya mobil, harusnya mengkonsumsi BBM debgan harga yang tidak memberatkan pemerintah. Kalau bisa atau siap ya dengan harga keekonomian,” pungkasnya. [gi/ab]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.