redaksiharian.com – Antropolog Universitas Indonesia Yunita T. Winarto menyampaikan bahwa pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) wajib mengembalikan fungsi hutan sebagai relung budaya masyarakat lokal di Kalimantan.“IKN harus memastikan pelibatan tokoh budaya dan masyarakat lokal dalam upaya konservasi kota hutan, karena hutan itu justru merupakan relung budaya dan masyarakat lokal, jadi prinsip reforestasi atau hutan berkelanjutan bisa dilakukan hanya ketika ada manusianya,” kata Yunita pada diskusi tentang Kebudayaan dan Konservasi dalam Konsep Kota Hutan IKN yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu.Yunita menjelaskan bahwa hutan adalah lanskap antropogenik, yang tidak bisa memisahkan unsur alam dengan manusia, karena faktor antropogenik membentuk hutan hujan tropis yang menghubungkan alam dan budaya dengan komunitas lokalnya.“Alam dan budaya sebetulnya dua dimensi yang tidak terpilah. Pranata pengetahuan lokal dan lembaga sosial ini berinteraksi dengan hutan hujan tropis dalam waktu yang begitu lama, untuk itu penting memperhatikan prinsip inklusif dan cerdas,” katanya.“Harus dipikirkan bagaimana agar inklusivitas dan pelibatan masyarakat lokal yang diharapkan berkelanjutan bisa dilakukan hanya ketika ada manusianya, dan kita ini berhubungan dengan manusia (di Kalimantan) yang sudah memahami bagaimana beradaptasi selama ini dan survive,” ujar dia.Yunita juga mencontohkan salah satu situs pemakaman leluhur yang masih ada di salah satu wilayah Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, tempat yang akan dibangun sebagai pusat IKN.“Ada salah satu situs pemakaman leluhur yang masih ada di tengah masyarakat, dan sampai saat ini tidak hilang, dan ini yang harus dipertimbangkan, bagaimana agar IKN bisa memulihkan hak asasi dan hak budaya masyarakat lokal, baik adat maupun pendatang,” kata Yunita.Dia juga mengapresiasi konsep pembangunan IKN yang inklusif, sekaligus mengoreksi kebijakan pemerintah di masa lalu, tetapi ia tetap menekankan pentingnya implementasi yang jelas melalui kebijakan.

“IKN tepat sekali untuk mengoreksi kebijakan pemerintah di masa lalu melalui gelombang inklusi bagi komunitas lokal atau adat dan pendatang melalui kota hutan, tetapi bagaimana? Kalau bisa konservasinya jangan hanya keragaman hayati, sebab tidak mungkin spesies ada begitu saja tanpa manusia, jadi perlu ada strategi relokasi dan klaster budaya yang tepat untuk mendukung hal tersebut (inklusivitas),” tuturnya.Dia juga berharap pemerintah dapat memperhatikan penguatan kelembagaan sosial di IKN, yang harus mementingkan sinergi dengan lembaga sosial atau komunitas lokal setempat.“Harus dipertimbangkan juga, apakah hanya cukup diwadahi Otorita IKN, atau perlu penguatan kelembagaan sosial? Seperti apa yang akan dibangun? Ada banyak pihak di sana, Civil Society Organization (CSO), Pemerintah Daerah (Pemda), dan komunitas lokal. Bagaimana keterlibatan mereka juga harus diperhatikan betul,” ujar dia.Yunita juga menekankan pentingnya belajar dari negara lain terkait mengembalikan fungsi hutan sebagai relung hidup masyarakat.“Kita perlu juga belajar dari Brazil, Mexico, Nepal, India, tentang penguatan pengelolaan sumber daya hutan dan warga lokal, bagaimana kerumitan tadi dapat mencegah kecemburuan dan konflik sosial, dan memastikan agar hutan bisa menjadi kampung adat kembali, yang mampu memulihkan hak asasi dan hak budaya manusia yang selama ini mungkin masih belum terakomodasi sepenuhnya oleh kebijakan pemerintah,” katanya.