Jepang memperingati serangan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang dan mengakhiri Perang Dunia II.
Anak-anak sekolah bersama para penyintas bom atom Hiroshima Sabtu lalu memperingati ke-77 tahun serangan yang menghancurkan kota mereka dan menewaskan sekitar 140 ribu orang. Para pejabat pemerintah Jepang dan Sekjen PBB Antonio Guterres ikut dalam peringatan itu.
“Hampir 13.000 senjata nuklir disimpan dalam gudang-gudang senjata di seluruh dunia. Kekhawatiran serius akan penggunaan nuklir menyebar dengan cepat dari Timur Tengah, semenanjung Korea, hingga invasi Rusia ke Ukraina. Sangat tidak bisa diterima kalau negara-negara bersenjata nuklir menyatakan kemungkinan perang nuklir,” kata Guterres.
Hiroshima akan menjadi tuan rumah KTT G-7 tahun depan. Dalam kesempatan itu, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida berharap, “Bersama para pemimpin G-7, di depan monumen perdamaian, kami akan menegaskan komitmen kami untuk bersatu melindungi perdamaian.”
Dalam konstitusi Jepang, yang ditulis setelah negara itu kalah pada 1945, disebutkan bahwa rakyat Jepang selamanya tidak akan berperang sebagai hak berdaulat bangsa. Tetapi, ancaman perang kini justru semakin mendekati negara itu.
Latihan militer skala besar China di sekitar Taiwan dalam beberapa hari ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa negara itu sedang merencanakan invasi ke Taiwan, yang diklaimnya sebagai bagian dari wilayahnya. Jepang mengatakan beberapa rudal China mendarat di laut yang merupakan bagian dari zona ekonomi eksklusifnya.
Di Hiroshima – setelah upacara bom atom – perdana menteri Jepang Kishida mengatakan pemerintah harus menanggapi krisis di Taiwan dan Ukraina.
“Kami akan secara drastis memperkuat kemampuan pertahanan kami,” tegas Kishida.
Menurut Tetsuo Kotani, profesor Kajian Global di Meikai University, kebijakan Kishida semakin banyak menuai dukungan publik.
“Karena invasi Rusia ke Ukraina, persepsi masyarakat umum Jepang akan keamanan nasional berubah secara dramatis. Rakyat Jepang sangat khawatir akan agresi China. Dan menurut jajak pendapat publik, semakin banyak orang kini yang mendukung perubahan konstitusi dan juga peningkatan anggaran pertahanan. Jepang bahkan memasukkan kemampuan melancarkan serangan ofensif sebagai bagian dari kapabilitas militernya,” tukasnya.
Jepang bisa terseret dalam konflik apa pun atas Taiwan, kata Kotani.
Alasannya, “Karena kedekatan geografis, dan juga karena Jepang menjadi tuan rumah bagi militer Amerika di wilayahnya,” imbuh Kotani.
Serangan bom terhadap Hiroshima dan Nagasaki mengubah sikap Jepang terhadap perang dan kekuatan militer. Namun, 77 tahun kemudian, negara itu harus menghadapi kenyataan baru: China yang kuat dan agresif yang akan dan mampu menunjukkan kekuatan militernya di depan pintu Jepang. [ka/jm]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.