redaksiharian.com – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia melihat Uni Eropa telah melakukan ‘imperialisme regulasi’ dengan hukum pembabatan hutan baru mereka. Namun kedua belah pihak tetap akan melakukan pembicaraan untuk kesepakatan perdagangan bebas.

Menurutnya, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini terus melakukan negosiasi untuk kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA) dengan blok Uni Eropa.

“Hal ini dilakukan, bersamaan dengan konsultasi terpisah untuk menyelesaikan sengketa mengenai aturan pembabatan hutan Uni Eropa,” kata Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/6/2023).

Menurutnya, Pemerintah Indonesia ingin menyelesaikan kesepakatan FTA segera setelah tujuh tahun perundingan. Namun ia menekankan bahwa Indonesia bisa menunggu tujuh tahun lagi jika Uni Eropa tidak mau mengakui standar ekspor yang ada, seperti minyak sawit berkelanjutan dan produk kayu dalam aturan pembabatan hutan.

“Kami sedang membahas untuk memfasilitasi perdagangan. Tetapi seiring itu, mereka membangun tembok. Ini tidak adil,” ujarnya.

Airlangga menyebut sengketa yang sedang berlangsung dengan Uni Eropa, termasuk keluhannya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor bijih nikel Indonesia dan kasus WTO terpisah yang diajukan oleh Indonesia terkait penghapusan minyak sawit sebagai bahan bakar bio di Uni Eropa.

“Rencana Uni Eropa untuk memberlakukan pajak karbon juga dapat berdampak pada produk nikel Indonesia,” jelasnya.

Uni Eropa menyadari kekhawatiran terkait hukum pembabatan hutan tersebut dan menjamin bahwa aturan tersebut tidak akan diskriminatif atau digunakan sebagai hambatan perdagangan yang terselubung. CEPA dengan Indonesia akan mencakup platform untuk kerja sama dalam menghadapi tantangan bersama seperti pembabatan hutan.

Sementara Malaysia telah mengatakan bahwa sengketa terkait hukum Uni Eropa tidak akan berpengaruh pada negosiasi FTA mereka yang terhenti.

Aturan tersebut disahkan oleh parlemen Eropa pada April lalu, melarang impor Uni Eropa atas sejumlah komoditas yang terkait dengan pembabatan hutan. Indonesia sendiri memiliki hutan hujan terluas ketiga di dunia. Indonesia juga merupakan eksportir minyak sawit terbesar di dunia dan merupakan pemasok global utama untuk kopi, kakao, karet, dan produk kayu.

“Sekitar 6 miliar euro (Rp 96 triliun) dari total ekspor tahunan Indonesia akan terkena dampak dari hukum pembabatan hutan tersebut,” ungkap Airlangga.

Indonesia berargumen bahwa hukum tersebut akan merugikan petani kelapa sawit kecil, menghambat upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, karena petani akan kesulitan mematuhi aturan geolokasi. Menurutnya, Indonesia khawatir akan diberi label sebagai negara ‘berisiko tinggi’ yang dapat mengakibatkan inspeksi yang lebih mahal untuk produk-produknya.

Pemerintah menyatakan tingkat pembabatan hutan telah menurun, namun para aktivis lingkungan mengatakan bahwa beberapa petani dan perusahaan masih melakukan pembabatan hutan untuk penanaman kelapa sawit. Indonesia termasuk dalam sepuluh negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, terutama karena pembabatan hutan dan lahan gambut.

Airlangga mengatakan bahwa Indonesia telah mengusulkan agar Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik yang dipimpin oleh AS mencakup perjanjian perdagangan tentang mineral kritis, sehingga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dapat mendapatkan manfaat dari kredit pajak AS.

“Usulan tersebut, yang katanya telah didukung oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya dan Australia, dilontarkan setelah Indonesia menyatakan akan mengusulkan FTA terbatas dengan AS yang mencakup bahan baku baterai,” ungkapnya.

Perundingan terkait deforestasi dengan Uni Eropa dan negosiasi CEPA yang sedang berlangsung dengan Indonesia akan terus menjadi perhatian utama dalam hubungan ekonomi antara kedua belah pihak.

“Indonesia berharap dapat mencapai kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan, sambil menjaga kepentingan lingkungan dan petani-petani kecil dalam industri kelapa sawit,” tutupnya.