redaksiharian.com – Keputusan hakim memvonis mati Ferdy Sambo diperkirakan praktis menyuapi rasa keadilan yang didambakan oleh publik selama ini. Bahkan ketika sanksi itu dijatuhkan, ruang persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terdengar riuh dengan sorak-sorai penonton.

Hakim Ketua dalam persidangan tersebut, Wahyu Imam Santoso seketika menjadi sosok yang dielu-elukan karena dianggap berlaku ‘adil’ dalam menyelesaikan perkara pembunuhan berencana ini. Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof. Hibnu Nugroho pun sebelumnya menilai, dijatuhinya hukuman mati pada mantan Kadiv Propam itu menunjukkan independensi majelis hakim.

“Artinya, dengan vonis mati ini, hakim betul-betul independen,” ujarnya.

Meski begitu, kemungkinan Ferdy Sambo untuk lolos dari hukuman mati ternyata masih tetap ada. Hal ini ramai dibicarakan usai video lawas pengacara hit Hotman Paris kembali viral di media sosial.

Dalam unggahan lamanya, Hotman tampak menyinggung celah dalan Undang-undang yang dapat menangguhkan hukuman mati pada seorang terdakwa. Aturan tersebut tertuang dalam KUHP Baru Pasal 100 ayat (1).

“Hakim bisa menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan mempertimbangkan tiga hal,” katanya.

Tiga hal yang dimaksud di antaranya terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki, peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting, atau, ada alasan yang meringankan. Jika hal-hal tersebut terpenuhi, maka hukuman mati bisa berubah menjadi hukum bui seumur hidup.

Meski saat itu Hotman tidak membahas soal vonis Ferdy Sambo , namun sang pengacara ternama menyayangkan perubahan dalam KUHP tersebut.

“Aduh makin setiap pasal saya baca di KUHP Pidana yang baru ini bikin gua pusing. Nalar hukumnya di mana ini orang-orang yang buat undang-undang,” katanya.

“Nih ini pasal 100 disebutkan seseorang terdakwa yang dijatuhkan hukuman mati nggak bisa langsung dihukum mati harus dikasih kesempatan 10 tahun,” ujar dia.

Hemat Hotman, pemberian ‘kesempatan taubat’ untuk terdakwa hukuman mati justru membuat bengkahan yang dapat memperbesar potensi kelonggaran hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, katanya, jika seseorang terdakwa hukuman mati mendekam di penjara selama 10 tahun dengan dalih untuk melihat perubahan sikapnya, bukan tidak mungkin dugaan Hotman, yang bersangkutan membeli surat kelakuan baik demi lolos dari eksekusi.

“Ya nanti bakal mahal surat berkelakuan baik ke kepala lapas penjara daripada dihukum mati huh,” katanya sambil geleng-geleng kepala.

“Orang berapa pun akan mau mempertaruhkan apapun untuk mau surat keterangan kelakuan baik dari kepala lapas penjara,” ucapnya.

KUHP baru ini menurut Hotman, merupakan sebuah ‘kemubaziran’ dalam dunia hukum Indonesia.

“Jadi apa artinya gitu loh sudah persidangan, sudah divonis sampai pk hukuman mati tapi tidak boleh dihukum mati. Harus menunggu 10 tahun untuk melihat apakah mental orang ini beruba menjadi berkelakuan baik,” tutur dia.

Pengacara kondang ini juga berpendapat, jika syak wasangkanya terjadi, maka profesi kepala lapas akan sangat diuntungkan.

“Kepala lapas penjara jadi jabatan yang sangat sangat prestisius dan sangat bergengsi,” katanya.

“Surat keterangan kelakuan baik nanti pasti jadi surat paling mahal di dunia,” ujarnya.

Dia pun berkelakar untuk beralih profesi menjadi kepala Lapas apabila ‘daging empuk’ itu bisa diperoleh dari pundi-pundi terdakwa hukuman mati .

“Hotman ada rencana jadi kepala Lapas penjara,” tutur Hotman.

Pada akhirnya Hotman bertanya-tanya siapa orang di balik pembuat KUHP tersebut dan meminta agar Presiden segera turun tangan untuk membatalkan perubahannya.

“Undang-undang? siapa sih yang bikin ini, yang bikin ini pasti bukan praktisi hukum, banyakan dosen, bukan praktisi hukum yang ahli dalam praktik,” kata dia.

“Bapak Jokowi segera batalkan undang-undang ini,” ujarnya.***