Majelis hakim di pengadilan tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Jumat (22/7) menolak keberatan awal Myanmar atas kasus yang menuduh negara Asia Tenggara itu bertanggung jawab atas genosida terhadap etnis minoritas Rohingya.

Keputusan yang menetapkan yurisdiksi Mahkamah Internasional itu memastikan penyelenggaraan sidang yang akan menyiarkan bukti-bukti kekejaman terhadap Rohingya, yang menurut kelompok hak asasi manusia dan hasil penyelidikan PBB telah melanggar Konvensi Genosida tahun 1948. Maret lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan bahwa penindasan yang disertai kekerasan terhadap populasi Rohingya di Myanmar, yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, tergolong genosida.

Tun Khin, presiden Organisasi Rohingya Burma Inggris, menyambut baik keputusan itu. ia mengatakan, 600.000 warga Rohingya “masih menghadapi genosida,” sementara “satu juta orang yang berada di kamp-kamp di Bangladesh, mereka menanti harapan ditegakkannya keadilan.”

Pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar melintasi sawah berlumpur di Palang Khali, Bangladesh, pada Oktober 2017. (IWMF/Paula Bronstein)

Pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar melintasi sawah berlumpur di Palang Khali, Bangladesh, pada Oktober 2017. (IWMF/Paula Bronstein)

Gambia, negara di benua Afrika, mengajukan kasus tersebut tahun 2019 di tengah kemarahan dunia atas perlakuan terhadap warga Rohingya, di mana ratusan ribu di antara mereka melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya, di tengah tindakan brutal pasukan Myanmar pada 2017. Gambia berpendapat bahwa negaranya dan Myanmar sama-sama penandatangan Konvensi 1948, dan semua penandatangan memiliki kewajiban untuk menjamin konvensi itu ditegakkan.

Hakim di Mahkamah Internasional setuju.

Saat membacakan kesimpulan keputusan, presiden pengadilan, Hakim AS Joan E. Donoghue, mengatakan: “Setiap negara pihak Konvensi Genosida dapat meminta pertanggungjawaban negara pihak lain, termasuk melalui persidangan di pengadilan.”

Sekelompok kecil pengunjuk rasa pro-Rohingya berkumpul di luar markas Mahkamah Internasional, The Peace Palace, sebelum putusan itu diumumkan, sambil membentangkan spanduk bertuliskan: “Percepat penegakkan keadilan bagi Rohingya. Penyintas genosida tidak bisa menunggu bergenerasi-generasi.”

Salah satu pengunjuk rasa menginjak-injak foto pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Pengadilan menolak argumen para pengacara Myanmar dalam sidang Februari lalu bahwa kasus itu harus dibatalkan karena pengadilan dunia hanya mengatur perselisihan antarnegara dan bahwa keluhan mengenai Rohingya itu diajukan oleh Gambia atas nama Organisasi Kerja sama Islam.

Kamp pengungsi Muslim Rohingya di Burma yang penuh sesak. (foto: AP)

Kamp pengungsi Muslim Rohingya di Burma yang penuh sesak. (foto: AP)

Majelis Hakim juga menolak klaim Myanmar bahwa Gambia tidak dapat mengajukan gugatan karena negara itu tidak terkait secara langsung dengan peristiwa di Myanmar dan bahwa tidak ada sengketa hukum yang terjadi di antara kedua negara sebelum kasus itu diajukan.

Militer Myanmar meluncurkan apa yang disebutnya sebagai kampanye pembersihan di negara bagian Rakhine tahun 2017 menyusul sebuah serangan oleh kelompok pemberontak Rohingya. Lebih dari 700.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, negara tetangganya. Pasukan keamanan Myanmar telah dituduh melakukan perkosaan, pembunuhan dan pembakaran ribuan rumah warga Rohingya. [rd/pp]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.