Program nuklir Iran “maju pesat” dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) memiliki visibilitas yang amat terbatas untuk mengetahui apa yang terjadi, kata kepala IAEA Rafael Grossi kepada surat kabar Spanyol, El Pais, dalam wawancara yang diterbitkan pada Jumat (22/7).

Juni lalu, Iran mulai mencopot seluruh peralatan pemantauan lembaga tersebut, yang dipasang berdasarkan perjanjian nuklir tahun 2015 dengan negara-negara adidaya. Grossi mengatakan, perkembangan itu dapat menyebabkan “pukulan fatal” terhadap peluang menghidupkan kembali kesepakatan yang ditinggalkan AS tahun 2018 di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi menghadiri rapat dewan gubernur IAEA di Wina, Austria, 6 Juni 2022. (Foto: REUTERS/Leonhard Foeger)

Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi menghadiri rapat dewan gubernur IAEA di Wina, Austria, 6 Juni 2022. (Foto: REUTERS/Leonhard Foeger)

“Intinya adalah bahwa selama hampir lima minggu saya memiliki visibilitas yang sangat terbatas, dengan program nuklir yang maju pesat, sehingga jika tercapai kesepakatan, akan sangat sulit bagi saya untuk merekonstruksi teka-teki selama periode yang penuh dengan kebutaan paksa ini,” kata Grossi kepada El Pais.

“Bukannya tidak mungkin, tapi akan menuntut tugas yang sangat kompleks dan mungkin beberapa persetujuan khusus,” kata Grossi.

Juni lalu, Grossi mengatakan hanya ada waktu tiga sampai empat minggu untuk memulihkan setidaknya beberapa kemampuan pemantauan yang dicopot sebelum IAEA kehilangan kemampuan untuk memahami aktivitas nuklir terpenting Iran.

Iran telah melanggar banyak batasan kegiatan nuklir sesuai kesepakatan semenjak AS keluar dari perjanjian itu dan kembali menjatuhkan sanksi terhadap Teheran tahun 2018. Republik Islam itu memperkaya kandungan uranium hingga mendekati level senjata.

Kekuatan Barat memperingatkan bahwa Iran semakin mendekati kemampuan menciptakan bom nuklir. Iran sendiri membantah berniat demikian.

Perundingan tidak langsung antara Iran dan AS untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir tahun 2015 menghadapi jalan buntu sejak Maret lalu.

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian di Teheran, Iran, 23 Juni 2022. (Foto: AP)

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian di Teheran, Iran, 23 Juni 2022. (Foto: AP)

Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian sebagaimana dikutip pada Jumat mengatakan bahwa negaranya dan AS hampir mencapai kesepakatan untuk menghidupkan kembali perjanjian nuklir 2015. Namun, Teheran membutuhkan jaminan dari AS agar tidak “digigit dua kali.”

“Kami memiliki teks (perjanjian) yang sudah siap di hadapan kami dan kami menyepekati lebih dari 95 hingga 96 persen isinya, tapi ada satu kelemahan penting dalam teks ini: kami harus memperoleh manfaat ekonomi penuh dari perjanjian itu. Kami tidak ingin digigit dua kali,” demikian Amirabdollahian dikutip media Iran.

Seorang pekerja mengendarai sepeda di depan gedung reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr, tepat di luar kota selatan Bushehr, Iran, 26 Oktober 2010. (Foto: AP)

Seorang pekerja mengendarai sepeda di depan gedung reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr, tepat di luar kota selatan Bushehr, Iran, 26 Oktober 2010. (Foto: AP)

Grossi mengatakan, ia mengkhawatirkan pekan-pekan tanpa visibilitas.

“Badan kami perlu merekonstruksi sebuah basis data. Tanpanya, perjanjian apa pun akan sangat rapuh, karena jika kita tidak tahu apa yang ada di sana, bagaimana kita bisa menentukan berapa banyak bahan yang akan diekspor, berapa banyak sentrifugal yang tidak digunakan,” ungkapnya.

Saat ditanya Reuters mengenai laporan bahwa Iran meningkatkan pengayaan uraniumnya lebih lanjut dengan penggunaan mesin canggih di pabrik Fordow, Grossi mengatakan, “kemajuan teknis program Iran stabil.” [rd/ah]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.