redaksiharian.com – Pasar keuangan Indonesia pada perdagangan Senin (12/12/2022) terpantau cenderung beragam, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat, sedangkan rupiah dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) melemah.

Pada perdagangan Selasa (13/12/2022) pasar menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS), yang bisa jadi akan menentukan seberapa besar The Fed (bank sentral AS) akan kembali menaikkan suku bunga. Jika inflasi kembali meninggi, ada kemungkinan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga dengan sangat agresif dan membawa Amerika Serikat ke jurang resesi. Indonesia juga tentunya bisa terkena imbasnya, perekenomian terancam mengalami pelambatan yang cukup dalam.

Rilis data inflasi AS dan faktor-faktor yang mempengaruhi pasar hari ini di bahas pada halaman 3.

Kembali pada pergerakan pasar dalam negeri kemarin, menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup menguat 0,29% ke posisi 6.734,45. IHSG diperdagangkan di zona psikologis 6.700 kemarin.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin sekitar Rp 13 triliun dengan melibatkan 23 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 993 ribu kali. Sebanyak 316 saham naik, 226 saham turun, dan 162 saham lainnya mendatar.

Investor asing tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) hingga mencapai Rp 1 triliun di pasar reguler pada perdagangan kemarin.

Sementara itu di kawasan Asia-Pasifik, secara mayoritas melemah. Kecuali indeks saham Filipina, SET Index Thailand, dan IHSG yang menghijau kemarin.

Dari yang terkoreksi, indeks Hang Seng Hong Kong memimpin yakni ambles 2,2%. Sedangkan dari yang menguat, IHSG menjadi juara dari Filipina dan Thailand.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Senin kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin kembali ditutup terkoreksi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Mengacu pada data Refinitiv, pada pembukaan perdagangan rupiah terkoreksi 0,05% ke Rp 15.590/US$. Kemudian, rupiah terkoreksi lebih dalam menjadi 0,37% ke Rp 15.640/US$ pada pukul 11:00 WIB.

Pada akhirnya, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di Rp 15.626/US$, melemah 0,28% di pasar spot. Untuk diketahui, rupiah masih mencatatkan berada tren yang tinggi selama 2,5 tahun terakhir.

Sedangkan di kawasan Asia, sebagian besar terpantau melemah di hadapan the greenback. Peso Filipina menjadi yang paling besar koreksinya kemarin.

Sementara dari yang menguat, dolar Hong Kong menjadi juaranya. Hanya dolar Hong Kong, won Korea Selatan, dolar Singapura, dan dolar Taiwan yang mampu menguat di hadapan sang greenback.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia melawan dolar AS pada Senin kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya secara mayoritas ditutup menguat dan mengalami penurunan imbal hasil (yield), menandakan bahwa investor ramai memburunya.

Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 15 tahun menjadi yang paling besar penurunan yield-nya pada perdagangan kemarin, yakni melandai 7,8 basis poin (bp) ke posisi 6,857%.

Sedangkan untuk yield SBN bertenor 30 tahun cenderung stagnan di level 7,287%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara turun 1 basis poin (bp) menjadi 6,948%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berikut pergerakan yield SBN acuan pada perdagangan Senin kemarin.

Kekhawatiran investor terkait masih tingginya inflasi global masih menghantui pasar keuangan, termasuk Indonesia, sehingga rupiah kembali melemah, IHSG cenderung kurang bergairah meski menguat, dan SBN kembali diburu oleh investor.

Sementara itu, Indeks harga produsen (IHP) November di AS menunjukkan harga grosir yang lebih tinggi dari perkiraan, naik 0,3% secara mtm dan 7,4% dibandingkan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).

Sedangkan IHP inti, yang tidak termasuk makanan dan energi, juga melampaui ekspektasi naik 0,4%, mengalahkan estimasi 0,2%. Sontak, hal tersebut meningkatkan kecemasan para pelaku pasar, bahwa inflasi di Negeri Paman Sam masih belum benar-benar melandai.

Analis terkemuka juga menyatakan kekhawatirannya bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dapat mempertahankan kebijakan yang ketat dalam waktu yang cukup lama.

“Ada sedikit kekhawatiran tentang bagaimana inflasi akan terus-menerus tinggi dan akan mendorong Fed untuk mempertahankan kebijakan pada tingkat yang lebih ketat bahkan lebih lama dari perkiraan sebelumnya,” kata Carol Kong, Ahli Strategi Mata Uang di Commonwealth Bank of Australia dikutip dari Reuters.

Investor di dalam negeri juga akan menanti rilis data inflasi AS di tingkat konsumen (indeks harga konsumen/IHK) periode November 2022 dan kebijakan suku bunga terbaru dari The Fed.