Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan langkah berikutnya dalam peluncuran vaksin malaria resmi pertama di dunia di tiga negara Afrika, kekhawatiran tentang manfaatnya datang dari sumber yang tidak terduga: Yayasan Bill dan Melinda Gates, yang bisa dibilang sebagai pendukung terbesar vaksin tersebut.

WHO mendukung vaksin itu musim gugur yang lalu, dan menganggapnya sebagai terobosan “bersejarah” dalam memerangi malaria, tetapi Yayasan Gates mengatakan kepada Associated Press minggu ini bahwa pihaknya tidak akan lagi mendukung secara finansial program penyuntikannya.

Beberapa ilmuwan mengatakan mereka bingung dengan keputusan itu, dan memperingatkan bahwa itu bisa membuat jutaan anak Afrika berisiko meninggal akibat malaria serta merusak upaya masa depan untuk mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang sulit dipecahkan.

Vaksin yang dipasarkan oleh GlaxoSmithKline (GSK) sebagai Mosquirix ini, memiliki keefektifan sekitar 30 persen dan membutuhkan empat dosis.

Seorang perawat mempersiapkan vaksin malaria dan jarum suntiknya sebelum memberi vaksinasi kepada bayi di rumah sakit Sub-County Lumumba, Kisumu, Kenya, 1 Juli 2022. (REUTERS/Baz Ratner)

Seorang perawat mempersiapkan vaksin malaria dan jarum suntiknya sebelum memberi vaksinasi kepada bayi di rumah sakit Sub-County Lumumba, Kisumu, Kenya, 1 Juli 2022. (REUTERS/Baz Ratner)

Vaksin malaria tersebut memiliki “kemanjuran yang jauh lebih rendah daripada yang kita inginkan,” kata Philip Welkhoff, direktur program malaria Yayasan Gates kepada AP. Menjelaskan keputusannya untuk mengakhiri dukungan setelah menghabiskan lebih dari $200 juta dan puluhan tahun, ia mengatakan suntikan itu relatif mahal dan secara logistik menantang untuk diberikan.

”Jika kita mencoba menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa dengan dana yang ada, efektivitas biaya itu penting diperhitungkan,” katanya.

Welkhoff mengatakan, keputusan Yayasan Gates untuk tidak mendukung peluncuran vaksin di Afrika itu telah dibuat bertahun-tahun yang lalu setelah pertimbangan rinci, termasuk apakah uang yayasan itu akan lebih baik digunakan untuk mengembangkan vaksin malaria lainnya, atau perawatan. Beberapa sumber daya yang mungkin digunakan untuk mendistribusikan vaksin itu ke negara-negara yang membutuhkan, misalnya, telah dialihkan untuk membeli jaring insektisida baru.

Vaksinasi malaria di rumah sakit Lumumba di Kisumu, Kenya, July 1, 2022. (REUTERS/Baz Ratner)

Vaksinasi malaria di rumah sakit Lumumba di Kisumu, Kenya, July 1, 2022. (REUTERS/Baz Ratner)

”Ini bukan vaksin terbaik di dunia, tetapi penggunaannya bisa berdampak besar,” kata Alister Craig, dekan ilmu biologi di Sekolah Kedokteran Tropis Liverpool. Dunia sedang berjuang untuk menahan lonjakan malaria yang terlihat sejak pandemi virus corona mengganggu upaya menghentikan penyakit parasit yang menewaskan lebih dari 620.000 orang pada tahun 2020 dan menyebabkan 241 juta kasus tersebut, terutama pada anak-anak balita di Afrika,” kata Craig.

“Kita tidak memiliki banyak alternatif lain,” kata Craig. ”Mungkin ada vaksin lain yang akan disetujui dalam waktu sekitar lima tahun, tapi banyak nyawa akan hilang jika kita menunggu sampai saat itu,” katanya, mengacu pada vaksin yang dikembangkan oleh Universitas Oxford. Saat ini, BioNTech, pencipta vaksin Pfizer COVID-19, berencana untuk menerapkan teknologi messenger RNA yang digunakannya untuk virus corona ke malaria, tetapi proyek itu masih dalam tahap awal.

Kendala besar lainnya adalah ketersediaan. GSK mengatakan hanya dapat memproduksi sekitar 15 juta dosis per tahun hingga 2028. WHO memperkirakan bahwa untuk melindungi 25 juta anak yang lahir di Afrika setiap tahun, setidaknya diperlukan 100 juta dosis setiap tahun. Meskipun ada rencana untuk mentransfer teknologi ke pembuat obat India, itu akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum diproduksi. [ab/uh]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.