Amerika Serikat, pada Selasa (19/7), memasukkan Rusia ke dalam daftar negara-negara yang terlibat dalam “kebijakan atau pola” perdagangan manusia dan kerja paksa, atau perekrutan tentara anak oleh pasukan keamanan maupun kelompok bersenjata yang didukung pemerintah.

Departemen Luar Negeri AS menyertakan daftar itu ke dalam laporan tahunan perdagangan manusia, yang untuk pertama kalinya ditampilkan di bawah mandat kongres 2019, bagian “Perdagangan Orang yang Disponsori Negara.”

Rusia kerap muncul di sepanjang laporan itu akibat invasinya ke Ukraina sejak 24 Februari lalu, dan akibat apa yang disebut laporan itu sebagai kerentanan perdagangan jutaan pengungsi Ukraina, di negara-negara tempat mereka mengungsi.

“Jutaan warga Ukraina harus meninggalkan rumah mereka […] beberapa bahkan meninggalkan negara mereka, di mana sebagian besarnya hanya membawa apa yang bisa dibawa,” kata Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken saat mempresentasikan laporan itu. “Hal tersebut membuat mereka sangat rentan dieksploitasi.”

Kedutaan Besar Rusia di Washington, DC, belum menanggapi permintaan tanggapan terkait tuduhan yang terdapat pada laporan itu.

Blinken mengatakan, saat ini ada hampir 25 juta korban perdagangan manusia di seluruh dunia.

Selain Rusia, laporan itu merinci aktivitas yang disponsori negara, antara lain oleh Afghanistan, Myanmar, Kuba, Iran, Korea Utara dan lima negara lainnya dengan keterangan “’kebijakan atau pola’ perdagangan manusia yang terdokumentasi,” kerja paksa di sektor-sektor yang berafiliasi dengan pemerintah, perbudakan seksual di kamp-kamp milik pemerintah, atau mempekerjakan atau merekrut tentara anak.

Ada pula daftar terpisah dari laporan itu tentang 12 negara yang mempekerjakan atau merekrut tentara anak, termasuk Rusia dan beberapa negara yang termasuk ke dalam bagian ‘disponsori negara.’

Laporan itu tidak menjelaskan lebih jauh alasan dimasukkannya sejumlah negara tersebut. Namun masing-masing bab negara dalam laporan tersebut merinci skala perdagangan manusia di negara mereka dan bagaimana pemerintahnya mengatasi hal tersebut, di mana disertakan pula peringkat upaya masing-masing negara berdasarkan empat tingkatan.

Moskow disebut “secara aktif terlibat dalam kerja paksa” pekerja migran Korea Utara, termasuk dengan menerbitkan visa bagi ribuan orang dalam upaya nyata untuk menghindari resolusi PBB yang menuntut pemulangan mereka.

Laporan itu mengutip sejumlah laporan bahwa setelah merebut sebagian Donbas di timur Ukraina tahun 2014, separatis yang dipimpin Rusia menggunakan anak-anak untuk menjaga pos-pos pemeriksaan dan bertugas sebagai tentara dan pos lainnya.

Menyusul “invasi skala penuh” tahun ini, “media menyoroti laporan baru yang belum terbukti bahwa pasukan Rusia menggunakan anak-anak sebagai perisai manusia,” ungkap laporan itu.

Laporan itu juga mengutip laporan yang menyebut pasukan pimpinan Rusia telah memaksa ribuan warga Ukraina, termasuk anak-anak, melalui “kamp-kamp penyaringan,” di mana dokumen mereka disita, dipaksa mengambil paspor Rusia dan kemudian diangkut ke daerah-daerah terpencil di Rusia. [rd/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.