Nicktar Benedito tahu betul cara menyesuaikan diri dengan keterbatasan. Ia terlahir dengan cacat fisik yang membatasi penggunaan tangan dan lengan. Namun, kondisi itu tidak menghambatnya untuk menentukan profesi yang diminati. Pria Mozambik itu secara otodidak belajar menggambar dan melukis dengan kakinya untuk mengekpresikan dirinya dengan lebih baik.

Dalam 37 tahun kehidupannya, artis itu mengatakan bahwa pandemi COVID-19 adalah rintangan terbesar yang menghadangnya. Tantangan itu menginsipirasinya untuk memproduksi rangkaian lukisan yang dia sebut “The Cry of the World” atau “Tangisan Dunia.”

“Saya telah melukis apa yang ditangisi dunia, berkali-kali,” katanya.

Fernando Tellez Estrada saat ia melukis pemandangan di Mexico City, 28 Juli 1998, sebagai ilustrasi. (Foto: Reuters)

Fernando Tellez Estrada saat ia melukis pemandangan di Mexico City, 28 Juli 1998, sebagai ilustrasi. (Foto: Reuters)

Seri lukisan ini menggambarkan perempuan dan anak perempuan yang menderita akibat pandemi COVID. Dana PBB untuk Anak-Anak (UNICEF) telah melaporkan peningkatan jumlah pernikahan anak dan siswi yang putus sekolah. Keprihatinan itu juga diungkapkan oleh pihak berwenang di provinsi Manica, Mozambik, kota tempat tinggal Benedito. Lukisan barunya berfokus pada perempuan yang semuanya sedang menghadapi kesulitan. Sebagian dari mereka sedang hamil.

“Ketika pandemi COVID dimulai, orang-orang di pedesaan tidak mengerti apa itu. Para perempuan ini menanggung segalanya. Mereka meninggalkan kampung mereka karena mereka mengira COVID-19 adalah sihir. Karena itu, (dalam lukisan) ditampilkan punggung mereka,” kata Benedito.

Salah satu lukisan menunjukkan seorang gadis cantik berangkat di pagi hari dengan cangkul dan stoples. Ia tampak sedih, kata Benedito, karena ia rindu untuk bersekolah.

Seorang seniman sedang melukis dengan menggunakan kakiknya. (Foto: REUTERS/Ako Rasheed)

Seorang seniman sedang melukis dengan menggunakan kakiknya. (Foto: REUTERS/Ako Rasheed)

“Dia harus pergi ke ladang, sesuatu yang tidak mau dia lakukan. Tetapi dia terpaksa melakukan itu karena dia sudah menikah dini,” ujarnya.

Pembatasan terkait pandemi telah mencegah Benedito memamerkan karyanya di luar rumahnya yang sederhana di kota Chimoio. Dia mengatakan bahwa dia telah menjual lukisan kepada teman-temannya, tetapi juga bergantung pada pemerintah yang telah mengiriminya bantuan setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dia tidak mengeluh.

“Bagi saya, seni bukan tentang uang. Seni adalah membantu orang untuk melihat dunia dengan pandangan yang berbeda,” tutur Benedito.

Ketika masih kecil, cacat tubuh membuat Benedito tidak bisa bermain dengan anak-anak lainnya. Dia mulai menggambar untuk menepis rasa kesepian. Kini dia bercita-cita masuk sekolah seni untuk anak muda yang difabel ataupun tidak.

Benedito bercita-cita membantu orang lain berkreasi dan melihat dengan penuh kasih. Ia hendak menjadikan itu sebagai bagian dari warisan hidupnya.[ew/ka]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.