redaksiharian.com – Ghan Woja terdiri dari dua kata, yakni ghan dan woja. Ghan dalam bahasa etnis Kolor di bagian selatan Manggarai Timur, artinya makan dan woja berarti bulir padi panjang dan beras.

Ghan Woja merupakan salah satu dari sekian ritual adat masyarakat tani yang menghormati padi dan jagung, serta memulihkan hubungan dengan Sang Pencipta. Mereka juga menyapa leluhur dengan ritual adat di Mbaru Mere (rumah adat).

Adapun Ghan Woja ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur, berdoa saat akhir masa tanam dan memulai masa tanam baru.

Ritual Ghan Woja bisa dilaksanakan secara pribadi di rumah-rumah, di kebun, dan secara komunal di rumah-rumah adat.

Tarian Keda Rawa

Tua adat Suku Mukun, Desa Mbengan , Kornelius Ngamal Ramang (62) menjelaskan, tradisi sakral di Kampung Bungan yang masih dirawat dengan baik yakni tradisi tarian Keda Rawa saat dilangsungkan ritual adat Ghan Woja.

Keda artinya injak tanah, menghentakkan kaki di tanah dan rawa artinya syair-syair mistis yang dilantunkan tua-tua adat di kampung tersebut.

Jadi Tarian Keda Rawa adalah tarian khas bernuansa mistis yang dilaksanakan oleh tua-tua adat laki-laki. Tarian ini dilaksanakan tengah malam sekitar pukul 00.00 Wita dan pagi sebelum matahari terbit.

“Di bulan oktober 2022 sudah dilaksanakan ritual adat Ghan Woja di Kampung Bungan. Warga satu kampung itu melaksanakan ritual ini,” kata Ramang.

Biasanya, lanjut dia, ritual Ghan Woja dilaksanakan Juli-September tiap tahunnya. Namun, tahun 2022 ini ritual mundur karena anomali cuaca.

Sebelum dilaksanakan ritual Ghan Woja di rumah, masyarakat Kampung Bungan dilarang membuka kebun baru. Konon jika dilanggar, hasil kebun tidak melimpah dan kebun-kebun diganggu binatang.

Ramang melanjutkan, yang menanam pertama di ladang adat di sekitar rumah adat adalah Suku Nanga. Jika tua adat Suku Nanga belum menanam, warga lain dilarang menanam duluan.

Noko Lodong

Ramang menjelaskan bahwa saat ritual itu dilangsungkan, dilakukan Noko Lodong. Noko berarti simpan dan lodong berarti pucuk. Noko lodong berarti menyimpan pucuk tanaman.

Saat malam hari tua adat di rumah adat melaksanakan kepok-kepok untuk menandakan bahwa tahun yang lalu sudah berlalu dan memulai tahun baru untuk menanam.

Adapun di kampung Bungan, lanjut Ramang, terdapat suku Bebong, Teong, Koi, Mukun, Ladar, Pata, Kepo, Sape, dan Nanga. Satu kampung ini serentak melaksanakan ritual adat Ghan Woja.

Ia melanjutkan, yang paling sakral dalam ritual Ghan Woja adalah hasil panen yang unik atau langka, seperti bulir padi bercabang tiga dipangkas dan dibawa ke rumah adat.

Hasil panen unik itu dipersembahkan di tengah kampung dengan percikan darah babi dan ayam. Dalam ritual Ghan Woja, bahan sesajiannya yakni ayam dan babi.

Tarian Keda Rawa

Saat ritual Ghan Woja, dilakukan tarian Keda Rawa di tengah kampung. Tepat pukul 00.00 Wita, tua adat yang hanya laki-laki turun dari rumah adat, dibalut dengan pakaian adat serta diiringi tabuh kendang dan gong, menari melingkar.

Tidak sembarang orang bisa melantunkan syair-syair kuno dalam tarian ini. Tarian ini sangat berbeda dengan tarian pada umumnya di Manggarai Timur. Cara menarinya juga sangat sulit bagi orang baru yang ikut menari.

Saat ini tarian Keda Rawa hanya ada di kampung Bungan di Desa Mbengan. Tidak ada di kampung-kampung lainnya.

Tarian ini melambangkan penghormatan kepada ibu bumi sebagai tempat berpijak, tempat tinggal dan juga menghormati para leluhur yang sudah mendirikan kampung tersebut.

Tarian juga melambangkan penghargaan kepada Sang Pencipta. Selain Keda Rawa pada malam hari, siang harinya dilaksanakan tarian Ronda.

Kampung Sakral Bungan

Ramang menambahkan, Kampung Bungan bisa disebut kampung sakral. Alasannya, konon saat mendirikan kampung itu ratusan tahun lalu, leluhur melalukan ritual dengan keliling tujuh kali agar terhindar dari gangguan manusia maupun makhluk halus.

Di bagian utara kampung, ada watu yang biasa disebut naga kampung. Sebelum dilangsungkan ritual-ritual adat seperti ghan woja , terlebih dahulu dilangsungkan ritual di sana, maupun yang selatan.

Terpisah Tua Adat Suku Saghe, Fransiskus Ndolu (73) dan Aleksius Jalang (77) menjelaskan, warga suku Saghe juga sering melaksanakan ritual adat Ghan Woja dan Peting Kadea (syukuran hasil panen selama setahun).

Biasanya benda-benda sesajennya, ayam dan babi. Semua warga suku berkumpul di rumah adat.

“Selama kami hidup bersama orangtua-orangtua dan tua-tua adat hingga saat ini, ritual adat Ghan Woja selalu dilaksanakan di rumah adat. Ada juga yang dilaksanakan di rumah-rumah pribadi,” tutur keduanya.