Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada Selasa (12/7) lalu, mengingatkan potensi gelombang baru virus corona varian BA.4 dan BA.5 yang kini terjadi di banyak negara di Eropa dan Amerika.

Dalam briefing di Jenewa seusai melangsungkan pertemuan, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan meskipun vaksin COVID-19 dan suntikan penguat (booster) masih menjadi salah satu piranti terbaik untuk mencegah perebakan dan memburuknya kondisi kesehatan jika kembali terpapar virus mematikan ini, WHO merekomendasikan pemakaian kembali masker untuk mencegah perebakan luas virus ini.

Dibanding negara-negara lain di dunia, Indonesia memang menempati posisi terendah dalam kasus harian, tetapi memiliki kelemahan yaitu rendahnya jumlah warga yang mendapatkan suntikan penguat.

Berdasarkan data Peduli Lindungi, dari rata-rata 1,9 juta orang yang masuk pusat-pusat perbelanjaan per hari, hanya 24,6 persen yang sudah mendapatkan booster. Di tengah peningkatan kasus yang terjadi, hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat antibodi masyarakat akan semakin berkurang.

Mengapa Warga Indonesia Enggan Disuntik Booster?

Diwawancarai VOA baru-baru ini, juru bicara Kementerian Kesehatan M. Syahril mengatakan, “warga menganggap kasusnya turun. Kemarin sudah boleh mudik lebaran, kemudian masker boleh dilepas di luar ruangan. Mereka tidak membaca utuh (peraturan pelonggaran masa pandemi.red) sehingga ini perlu dikomunikasikan ulang, kita edukasi ulang.” Edukasi ulang yang dimaksudnya adalah mengkomunikasikan kembali pada publik bahwa pandemi belum berarkhir.

Epidemiolog Dicky Budiman mengingatkan varian baru virus COVID yakni BA.4 dan BA.5 membawa dampak yang parah seperti varian sebelumnya. “BA.4 dan BA.5 ini juga memiliki dampak keseriusan masalah keparahannya yang hampir sama dengan (varian) Delta. Karena dia membawa mutasi yang juga dimiliki Delta atau Alfa,” ujarnya.

Dicky kembali mendorong penerapan kembali protokol kesehatan. “Itu karena vaksin saja tidak bisa cukup. Harus dengan perubahan perilaku. Pakai masker, jaga jarak dan sebagainya. Itu yang penting. Dikombinasikan. Vaksin sekali lagi bukan solusi tunggal, bukan solusi ajaib, bukan tombol on-off pandemi. Dia (vaksin booster.red) hanya salah satunya. Tapi vaksin (booster.red) efektif mengurangi gejala,” ungkap Dicky.

Seorang petugas medis tampak memberikan suntikan penguat atau booster vaksin COVID-19 kepada seorang warga dalam program booster di Jakarta, pada 29 Maret 2022. (Foto: AFP/Adek Berry)

Seorang petugas medis tampak memberikan suntikan penguat atau booster vaksin COVID-19 kepada seorang warga dalam program booster di Jakarta, pada 29 Maret 2022. (Foto: AFP/Adek Berry)

Beberapa warga masyarakat yang ditemui VOA memberikan alasan beragam mengapa mereka belum disuntik penguat. Dimas Jaya, warga Jakarta Timur berusia 32 tahun, mengatakan ia tidak punya cukup waktu untuk melaksanakan vaksin booster karena kesibukan pekerjaannya.

“Soalnya saya tidak ada waktu untuk ambil vaksin booster. Saya harus kerja, di luar pekerjaan saya masih ada kerjaan lagi. Dan lagi pula sekarang sudah agak lowong soal peraturan harus vaksin seperti masuk ke fasilitas umum menurut saya sudah lowong. Bahkan yang awalnya diharuskan mengecek menggunakan PeduliLindungi seperti masuk Halte Transjakarta, stasiun-stasiun itu sudah tidak di cek lagi. Makanya buat apa juga saya ambil vaksin booster. Saya sudah ambil vaksin dua kali, sepertinya sudah cukup.”

Dimas semakin yakin tidak memerlukan suntikan penguat karena ia merasa tubuhnya sangat fit berkat olahraga rutin yang dilakukannya.

Hal senada disampaikan Citra Astuti, warga Jakarta Selatan berusia 30 tahun, yang merasa dua dosis vaksin sebelumnya sudah cukup melindunginya.

“Soalnya dirasa sudah cukup vaksin satu dan dua jadi tidak perlu booster. Karena yang saya tahu, vaksin pertama itu untuk pengenalan vaksin dan kandungannya ke sistem kekebalan tubuh kita. Vaksin kedua itu memperkuat imun yang sudah dibentuk dari vaksin pertama. Jadi ya sudah cukup sampai situ saja. Vaksin satu dan dua cukup,” paparnya.

Citra mengaku masih menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker dan juga menjaga jarak guna meminimalisir penularan virus COVID-19 ke dalam tubuhnya.

Pemerintah Siap Jadikan Vaksin Booster Sebagai Syarat Mobilitas

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan selaku koordinator PPKM Jawa-Bali, mengatakan dalam dua minggu mendatang pemerintah akan menerapkan vaksin booster sebagai syarat untuk masyarakat yang hendak bepergian menggunakan transportasi umum baik di darat, udara, laut maupun kereta api.

“Pemerintah akan kembali menerapkan kebijakan insentif dan disinsentif dengan mengubah dan memberlakukan persyaratan vaksinasi booster sebagai syarat mobilitas masyarakat ke area publik,” ujarnya dalam konferensi pers pada 4 Juli lalu.

Untuk mendorong vaksinasi booster, syarat perjalanan dan masuk tempat umum seperti mall dan perkantoran, akan diubah jadi vaksinasi booster. Sentra vaksinasi di berbagai tempat, seperti bandara, stasiun kereta, terminal, dan pusat perbelanjaan juga akan diaktifkan kembali untuk memudahkan masyarakat mengakses vaksinasi.

KAI Terapkan Kebijakan Baru

Menindaklanjuti hal ini, Kementerian Perhubungan misalnya mengeluarkan surat edaran yang mensyaratkan warga yang ingin melakukan perjalanan degan kereta api untuk menunjukkan bukti vaksinasi ketiga atau booster. Mereka yang belum mendapatkan booster harus menunjukkan hasil negatif tes RT-PCR atau rapid test antigen yang berlaku saat boarding.

Untuk mendukung kebijakan itu, mulai 15 Juli akan diaktifkan layanan vaksinasi di Stasiun Gambir dan Pasar Senen. Vaksin yang disediakan adalah Pfizer dan Sinovac. Dalam keterangan pers yang diterima VOA, PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengatakan mereka optimis kebijakan ini tidak menyurutkan minat masyarakat untuk bepergian dengan kereta api yang selalu mengedepankan protokol kesehatan. Sebaliknya, langkah ini diharapkan akan mendorong jumlah warga yang divaksinasi booster, dan sekaligus menekan perebakan COVID-19. [iy/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.