redaksiharian.com – Belakangan ini banyak pelaku industri merasa cemas dengan prospek perekonomian tahun depan yang diprediksi banyak pihak suram, meskipun Indonesia sejauh ini diyakini akan mampu bergerak positif.
Dalam Golden Circle Club yang diselenggarakan Computrade Technology International (CTI Group) baru-baru ini, ekonom dan Head of Economy Depertement CSIS (Centre for Strategic and International Studies) Fajar B Hirawan mengatakan meskipun ada ancaman resesi ekonomi dunia, indikator makroekonomi Indonesia dalam pertumbuhan PDB dan inflasi masih terkendali.
Namun demikian, kata Fajar, ancaman resesi tersebut masih perlu diwaspadai jika melihat situasi sekarang. Mengutip pernyataan terbaru International Monetary Fund (IMF), pertumbuhan ekonomi global hanya mencapai 2,7 persen pada 2023, sementara untuk tahun ini diperkirakan pada angka 3,2 persen.
Kondisi perekonomian global semakin tidak menentu karena sejumlah isu mulai dari perang dagang antara AS dan Tiongkok, munculnya krisis politik seperti perang Rusia-Ukraina hingga ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan. Faktor-faktor itu lah yang membuat aktivitas perekonomian dan perdagangan secara global terganggu.
Fajar menyampaikan ada tiga skenario economy outlook Indonesia yaitu bearish (kemungkinan terburuk), mediocre (kemungkinan menengah), dan bullish (kemungkinan terbaik).
Untuk menghadapi skenario ini, perlu melihat perbandingan dari sisi global dan domestik, bagaimana pertumbuhan PDB serta pencegahan yang dilakukan terkait kenaikan inflansi di lima negara/kawasan besar, yakni AS, China, Jepang, India, Uni Eropa.
Demi mendapatkan hasil yang positif (bullish) Fajar menekankan pentingnya menjaga daya beli masyarakat dari tersedianya komoditas berkat rantai pasok dan logistik.
Chairman Supply Chain Indonesia Setijadi mengungkapkan IT menjadi satu hal yang bisa meningkatkan produktivitas dari segi logistik. Tidak mungkin kita bisa mengelola armada sekian banyak kalau kita tidak menggunakan IT.
“Teknologi bisa mempercepat dan meningkatkan akurasi proses yang ada di logistik dan supply chain,” katanya.
Selain itu melakukan mapping supply and demand merupakan alur proses awal untuk dilakukan dan dalam menjalankan proses tersebut perlu adanya bantuan IT.
“Saat ini kita sangat lemah di data dan data tersebut tidak bisa kita kumpulkan dan kelola tanpa IT, sekarang sudah memasuki era big data dan itu bisa didukung oleh pelaku bisnis IT,” katanya.
Dari sisi lain, Vice President of ICT JNE Andries K Indrajaya mengungkapkan bahwa inovasi yang dilakukan JNE sebagai pelaku industri logistik adalah dengan memanfaatkan teknologi sehingga bisa bertahan bahkan menjaga performa operasional, terutama pengiriman.
Lebih spesifik JNE membutuhkan dukungan teknologi yang agile. Selain memiliki data center, JNE juga mulai beralih ke hybrid cloud yang terbagi sesuai fungsinya. “Untuk e-commerce kami menggunakan cloud karena membutuhkan komunikasi yang cepat sampai hitungan menit dan detik.”
Pentingnya IT sebagai katalis para pelaku bisnis, seperti JNE ini membuat peran penyedia solusi infrastruktur IT seperti CTI Group semakin diperlukan mengingat kondisi perekonomian global ke depan yang penuh ketidakpastian.
Rachmat Gunawan, Presiden Direktur CTI Group, menegaskan komitmennya untuk terus mendukung dan mendorong inovasi melalui penyediaan teknologi informasi seperti AI, hybrid cloud, big data, automation, dan lainnya melalui kerja sama strategis.
Fajar menambahkan bahwa ada lima kunci agar industri TI Indonesia bisa survive dan sustain di masa mendatang. Pertama, perlunya regulator dalam hal ini pemerintah memahami bahwa benar sektor TI ini bisa membantu dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kedua, perlu adanya komunikasi dan transparansi bahwa sektor TI ini akan terhambat jika ada kebijakan populis dan menutup impor. Dengan dua hal itu, sebagai kunci ketiga, maka akan muncul trust atau kepercayaan dari pelaku sektor ini dan pemangku kepentingan lainnya.
Lalu dua terakhir adalah talent dan teknologi, karena pelaku sektor IT memiliki dua poin penting yang bisa mendukung dan menjadi salah satu sumber ekonomi baru seperti harapan kita Indonesia menjadi negara maju 2045.
Fajar juga berharap bahwa industri TI bisa memanfaatkan keunggulan teknologi yang mereka miliki untuk berpartisipasi dalam pembangunan bersama proyek infrastruktur digital nasional.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa masa depan industri TI nasional membutuhkan dukungan yang kuat dari regulator untuk bisa berkembang dengan baik di masa depan, kemudian ketersediaan tenaga ahli (telent) yang memadai, serta pengembangan teknologi itu sendiri.
Dengan kondisi Indonesia yang masih “cukup kuat” saat ini, ancaman krisis global mendatang mungkin tidak akan membuat kita “jatuh” seperti resesi 1998 lalu jika semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun sumber daya manusia beriringan membangun pertahanan yang kuat dari sisi masing-masing.
Industri TI, sebagai ujung tombak dalam era digital, dan pemerintah sebagai regulator serta inisiator pembangunan infrastruktur harus bersama-sama membangun ekosistem yang baik bagi tumbuhnya talenta teknologi Indonesia sehingga tercipta inovasi yang berperan penting dalam percaturan ke depan.