redaksiharian.com – Membangun perusahaan rintisan atau startup bukan perkara mudah. Tidak sedikit startup yang harus menghentikan operasional mereka alias gulung tikar di tengah jalan.

Ada berbagai alasan perusahaan rintisan itu akhirnya gulung tikar. Presiden Joko Widodo mengungkapkan hampir 80%-90% perusahaan rintisan tidak bisa bertahan akibat tidak mampu melihat kebutuhan pasar.

“Berangkatnya mestinya dari kebutuhan pasar yang ada itu apa,” kata Jokowi, saat BUMN Startup Day Tahun 2022, dikutip Senin (3/10/2022).

Juru bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi mengatakan alasan lain startup gagal karena faktor manajerial. Misalnya kurang pengalaman dan visi jelas dari sang founder.

Lebih lanjut, kata Dedy, sebagaimana tertulis dalam laporan Failory, kurangnya fokus dalam menjalankan bisnis juga menjadi penyebab gagalnya startup di Indonesia.

“Selain itu, menurut laporan dari CB Insights dua alasan utama startup mengalami kegagalan adalah karena kehabisan dana [ran out of cash] dan tidak adanya kebutuhan pasar [no market need],” ujar Dedy saat dihubungi CNBC Indonesia, melalui pesan singkat.

Berikut ini 4 startup yang akhirnya harus berakhir di Indonesia, dirangkum CNBC Indonesia dari berbagai sumber, Selasa (18/10/2022).

Sebelum pandemi Covid-19 menghantam, bisnis hotel aggregator sedang ramai-ramainya. Mereka bermitra dengan pemilik properti, dari hotel hingga motel kecil, untuk menawarkan tempat menginap dengan standar yang sama lewat platform online.

Ketika pandemi menghantam, banyak startup yang terpaksa berhenti operasi termasuk Airy Rooms yang menyetop operasionalnya per 31 Mei 2020.

CEO Airy Rooms Indonesia Louis Alfonso Kodoatie mengatakan penghentian semua kegiatan operasional Airy dilakukan dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk kondisi pasar yang nyaris tumbang akibat pandemi Covid-19.

Masih pada 2020, startup yang menjual sembako secara online untuk bisnis kuliner melalui aplikasi, Stoqo, resmi menutup layanannya. Stoqo adalah startup yang menjalankan usaha dengan konsep B2B (business-to-business).

Startup ini memasok bahan makanan segar seperti cabai, telur hingga ampas kopi ke gerai makanan, atau restoran. Tak pelak, saat pandemi Corona membatasi ruang usaha, juga melemahkan bisnis Stoqo.

Stoqo terakhir melayani pelanggan pada 22 April 2020. Sehari sebelumnya, manajemen telah mengumpulkan karyawan yang mengabarkan penghentian operasional Stoqo. Pada akhirnya, pengumuman pemberhentian operasi itu diumumkan Stoqo di website perusahaan. “Dengan berat hati, kami mengumumkan bahwa STOQO telah berhenti beroperasi,” tulis perusahaan.

Padahal sudah ada 250 orang telah dipekerjakan di Stoqo sejak pertama kali didirikan. Beberapa investor juga mendanai perusahaan termasuk Alpha JWC Ventures, Mitra Accel, Insignia Ventures Partners dan Monk’s Hill Ventures.

Tutupnya startup yang satu ini tidak terkait pandemi. Platform jualan online khusus kerajinan tangan Indonesia, Qlapa, resmi menghentikan layanannya pada 2019 lalu setelah 4 tahun beroperasi.

Didirikan tahun 2015 lalu, Qlapa tak mampu bersaing dengan e-commerce lain seperti Tokopedia dan Bukalapak Cs.

“Hampir 4 tahun yang lalu, kami memulai Qlapa dengan misi memberdayakan perajin lokal. Banyak pasang surut yang kami alami dalam perjalanan yang luar biasa ini. Kami sangat berterima kasih atas semua tanggapan positif dari para penjual, pelanggan, dan media. Dukungan yang kami terima sangat luar biasa dan membesarkan hati,” tulis manajemen Qlapa merilis pernyataan di situs resminya.

Startup e-commerce fesyen Sorabel telah menghentikan operasional efektif per 30 Juli 2020. Dalam surat para pemimpin ke karyawan, dijelaskan bahwa perusahaan telah melakukan usaha terbaik untuk menyelamatkan perusahaan. Namun dengan berat hati harus menempuh jalur likuidasi.

“Oleh karena proses likuidasi yang ditempuh, hubungan kerja harus berakhir di tahap ini untuk semua orang tanpa terkecuali, tepatnya efektif di tanggal 30 Juli 2020. Saya yakin tidak ada satunya pun orang yang berharap hal ini untuk terjadi,” tulis surat tersebut.

Kabarnya, Sorabel harus berhenti beroperasi karena kehabisan modal dan kesulitan menggalang pendanaan baru di tengah pandemi.