redaksiharian.com – Masyarakat Transportasi Indonesia menyebut ojek online (ojol) sebagai bisnis yang gagal. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat, Djoko Setijowarno memberikan contoh dari driver yang tidak mendapatkan peningkatan pendapatannya.

“Transportasi daring bisnis gagal, driver-nya kerap mengeluh dan demo. Sementara pengemudi ojek daring sebagai mitra tidak akan merasakan peningkatan pendapatannya karena tergerus oleh potongan-potongan fasilitas aplikasi yang sangat besar,” kata Djoko dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (13/10/2022).

Sorotan terhadap bisnis ojol berasal dari survei yang dilakukan oleh MTI. Survei dilakukan rentang waktu 13 – 20 September 2022 dengan media survei online.

Sampel survei adalah penduduk Jabodetabek pengguna ojek online dengan metode sampling kurang 5 persen. Wilayah survei Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Sebanyak 2.655 responden masyarakat pengguna ojek online dan 2.016 responden mitra ojek online.

Berikut tiga alasan yang membuat MTI mempertanyakan bisnis ojol:

Djoko menjelaskan pendapatan yang diperoleh driver di bawah Rp 3,5 juta per bulan. Ini dilakukan dengan lama kerja 8-12 jam per hari dan selama 30 hari kerja sebulan tanpa libur.

Jumlah pendapatan itu tidak sesuai dengan janji aplikasi tahun 2016, sebesar Rp 8 juta per bulan atau jauh yang didapatkan pengemudi saat ini.

Selain itu, Djoko mengatakan profesi pengemudi sulit dijadikan sandaran hidup. Penyebabnya adalah aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi dalam layanannya.

“Pasalnya, aplikator tidak membatasi jumlah pengemudi, menyebabkan ketidakseimbangan supply dan demand,” ungkapnya.

Layanan ride hailing menyebut pengemudi mereka sebagai mitra. Namun menurut Djoko hal ini tidak sejalan dengan realitas yang ada.

Para driver harus hidup tanpa penghasilan yang tetap. Selain itu mereka tidak memiliki jadwal hari libur, tidak ada jaminan kesehatan, serta jam kerja yang tidak terbatas.

Djoko mengatakan jika layanan ini ingin menjadi angkutan umum harus mengikuti persyaratan dan hal-hal yang berlaku diterapkan pada sepeda motor. Mulai dari wajib melakukan uji berkala (kir), wajib dilengkapi perlengkapan, SIM C Umum, plat nomor kendaraan berwarna kuning, tarif ditetapkan perusahaan angkutan umum atas persetujuan pemerintah.

Dia mencontohkan Kota Agats, Kabupaten Asmat telah menerapkan ojek sebagai angkutan umum lengkap dengan kendaraan pelat kuning sejak 2011. Di sana juga telah memiliki Perda dan Perbup yang mengatur ojek sebagai angkutan umum.

“Kota Agats (Kab. Asmat) sejak 2011 sudah menerapkan ojek sebagai angkutan umum dan kendaraan pelat kuning. Kendaraan yang digunakan sepeda listrik, karena hampir 100 persen kendaraan di Kota Agats menggunakan kendaraan listrik. Kab. Asmat sudah memiliki Perda dan Perbup yang dapat mengatur ojek sebagai angkutan umum,” ucap Djoko.

Pemerintah bisa membuat aplikasi dan diserahkan pengoperasiannya pada daerah, kata Djoko. Ini telah dilakukan Pemerintah Korea Selatan dengan aplikasi untuk usaha taksi.

“Jika pemerintah ingin melindungi warganya, dapat dibuatkan aplikasi dan diserahkan ke daerah untuk dioperasikan,” kata dia.

“Seperti halnya yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan membuat aplikasi untuk usaha taksi. Dalam upaya untuk melindungi sopir taksi yang kebanyakan tidak berbahasa Inggris dan rata-rata sudah berusia tua”.