redaksiharian.com – Apakah Anda pernah atau bahkan sering mendapati permintaan pertemanan dari orang asing yang tampak “sempurna” di media sosial? Bila iya, Anda patut waspada, karena bisa saja orang tersebut merupakan agen dari penipuan atau scam yang beredar di dunia maya.
Motifnya tak lain untuk meraup keuntungan, melalui pendekatan personal yang mengajak Anda untuk berkenalan, berinteraksi, menjalin hubungan hingga investasi.
Di antara penipuan atau scam yang belakangan terjadi di Indonesia yaitu ” Pig Butchering ” atau bermakna menyembelih/memotong babi.
Istilah “potong babi” digunakan karena dalam penipuan ini, korban digemukkan terlebih dahulu dengan janji manis investasi sebelum sang penipu membawa kabur uangnya.
Menurut Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI), Pig Butchering adalah penipuan dengan teknik rekayasa sosial dengan memanipulasi psikologis korban yang relatif baru.
Penipu (scammers) biasanya bakal membangun hubungan dan kepercayaan dengan target korban.
Caranya, scammers bisa menghubungi target lewat media sosial, kemudian membangun hubungan persahabatan atau bahkan memakai kedok cinta untuk membuat hubungan romantis palsu. Terkadang, penipu juga menyamar sebagai teman lama dari sang target.
Kisah korban Pig Butchering asal Indonesia, yang tertipu oleh pria Korea hingga rugi ratusan juta rupiah bisa dibaca di artikel di .
Bagaimana korban bisa terjerat?
Secara umum, penipuan di dunia maya menurut Aulia sudah terorganisir, baik dengan skema romantic scam/love scam maupun pig butchering . Dalam praktiknya, para pelaku penipuan sudah mengetahui bagaimana cara menangani korban, memahami proses hingga timeline yang perlu dijalankan.
Adapun dari sisi korban penipuan “potong babi”, bisa dibilang bukan orang biasa. Pasalnya, bila ditilik dari pendidikannya, para korban justru memiliki dasar pendidikan yang cukup tinggi. Lantas mengapa mereka bisa terjerat penipuan ini?
Menurut Alif Aulia Masfufah, Psikolog klinis dari Yayasan Cintai Diri Indonesia (Love Yourself Indonesia), scammers sudah memiliki kriteria korban berbekal dari riset yang sudah dilakukan, termasuk dari media sosial.
Targetnya adalah psikologis korban, terlepas dari latar belakang pendidikan, pekerjaan, status atau hal lainnya.
“Hal-hal seperti pendidikan, status, itu mereka abaikan. Beberapa korbannya ada yang guru, dosen, dan sebagainya, kalau kita lihat background-nya mereka bukan orang sembarangan kalau dari segi pemikiran. Tapi itu justru bukan masuk kriteria korban, karena yang diserang psikologisnya korban,” kata wanita yang akrab disapa Aulia itu kepada KompasTekno.
Latar belakang pendidikan memang menjadi salah satu aspek yang dicatat scammers, namun hanya untuk keperluan pendekatan dengan korban.
“Jadi mau S3, dosen atau apa, asalkan ada problem psikologis yang tanpa disadari itu terjadi, itu pasti akan mudah discam,” tambah Aulia.
Serang kelemahan psikologis korban
Seperti disinggung di atas, penipuan di dunia maya menyerang aspek psikologis korban. Untuk melancarkan aksinya, penipu biasanya menggunakan persona hingga membangun kepercayaan korban melalui beragam interaksi termasuk di media sosial.
Persona yang ditampilkan penipu pun terbilang sempurna, sebagaimana impian dan idaman banyak orang. Misalnya, mereka tampil layaknya orang dengan kekayaan melimpah, penampilan yang paripurna dan lainnya guna menarik kepercayaan korban.
Setelah mendapat kepercayaan korban, penipu kemudian memainkan emosinya, sesuai dengan kebutuhan atau idealisme korban.
Di sini, sang penipu menjadi sosok sempurna seperti sosok yang diharapkan dan menjawab kebutuhan korban. Misalnya menjadi orang yang sukses dan kaya raya atau pasangan yang sempurna idaman kaum hawa.
“Dengan kepercayaan tadi, itu yang akhirnya dimanipulasi sama si scammers untuk main sama emosionalnya (korban). Dan akhirnya udah enggak bisa rasional lagi. Jangankan uang ya, gambar sensitif aja bisa dikirim, kalau di romantic scam,” ujar Aulia.
“Karena sudah bicara tentang kebutuhan psikologis atau kebutuhan orang, ya gampang aja terjerat,” lanjutnya.
Mayoritas korban scam perempuan
Umumnya korban scam adalah mereka yang memiliki kepribadian neuroticism atau neurotik. Orang dengan kepribadian ini memiliki kecenderungan terhadap emosi yang negatif, seperti marah, cemas hingga keraguan terhadap diri sendiri yang tidak stabil.
Selain itu, berdasarkan pengamatan Aulia terhadap para korban scam, mereka umumnya memiliki idealisme tertentu tentang pasangan, tingkat kemapanan, cara berbisnis hingga hubungan yang romantis.
Mereka juga percaya pada hasil dan proses yang cepat, seperti mendapat uang banyak dalam waktu singkat, mendapat pasangan sempurna dengan cepat, sehingga mudah terjerat dengan tipu daya scammers.
Menurut penelitian, rata-rata korban scam adalah perempuan. Sebab, dijelaskan Aulia, perempuan memiliki tingkat neurotik yang tinggi, mudah panik serta sensitif.
“Menurut penelitian, rata-rata korban scam memang perempuan,” ujar Aulia.
“80 persen korban scam adalah orang yang percaya dan punya idealisme tentang hubungan yang sempurna, romantis. Jadi, akhirnya dengan semua tatanan yang sudah disiapkan scammers, mereka tidak percaya dengan istilah ‘terlalu indah untuk dipercaya’,” paparnya.
Dengan demikian, ketika korban menemukan sosok yang sempurna dan ia butuhkan, ia dengan mudah terbuai tipuan scammers.
Dijelaskan Aulia, ketika korban menyadari dirinya tertipu, mereka akan merasa bodoh hingga terhina.
Meski demikian, hal tersebut bukan karena ketidakcerdasan korban, melainkan karena kebutuhan psikologis mereka yang terbaca oleh penipu, hingga dijadikan pancingan dalam aksinya.
Pesan korban Pig Butchering
AA, korban skema penipuan Pig Butchering yang menceritakan pengalamannya kepada KompasTekno, berpesan agar orang-orang selalu waspada dengan iming-iming investasi kripto dengan keuntungan besar dan instan ini.
“Mesti digencarkan lagi sosialisasi tentang penipuan dengan modus ini. Semoga yg lain kalau ada yg ngalamin bisa sharing, nggak usah malu, untuk menyetop modus penipuannya sampai di sini. Jangan banyak korban lagi,” kata AA.
Pelajaran yang bisa dipetik dari kasus AA adalah agar kita selalu waspada saat berkenal dengan orang baru di jejaring sosial.
Lalu, kita harus selalui skeptis dengan peluang investasi terdengar terlalu indah untuk dipercaya, termasuk tawaran investasi yang menjanjikan keuntungan yang besar dan instan.
Investor juga harus mencari tahu seluk-beluk platform investasi, sebelum mereka akhirnya memutuskan untuk mendaftar dan berinvestasi di sana.