redaksiharian.com – Perdana Menteri (PM) Israel Yair Lapid menolak usulan penuntutan seorang tentara Israel yang diduga telah menembak mati jurnalis Palestina-Amerika Shireen Abu Akleh dalam operasi militer tahun ini.

Dilansir dari kantor berita AFP, Kamis (8/9/2022), wartawan veteran Al Jazeera itu mengenakan rompi antipeluru bertuliskan “Pers” dan helm ketika dia ditembak di kepala selama operasi militer di kamp pengungsi Jenin, di Tepi Barat yang diduduki Israel.

Militer Israel pada Senin (5/9) lalu, untuk pertama kalinya mengakui bahwa salah satu tentaranya kemungkinan telah menembak Abu Akleh, setelah salah mengira dia sebagai seorang militan.

“Ada kemungkinan besar bahwa Abu Akleh secara tidak sengaja terkena tembakan IDF (tentara Israel) yang ditembakkan ke arah tersangka yang diidentifikasi sebagai pria bersenjata Palestina,” demikian menurut laporan akhir militer Israel mengenai kematian jurnalis tersebut pada 11 Mei.

Pengakuan itu datang setelah berbulan-bulan di mana militer Israel bersikeras tidak mungkin untuk menentukan sumber tembakan mematikan yang menewaskan jurnalis Al Jazeera yang tersohor itu. Militer Israel bahkan mengatakan itu bisa jadi tembakan militan.

“Saya tidak akan membiarkan seorang tentara IDF yang melindungi dirinya dari tembakan teroris dituntut hanya untuk menerima tepuk tangan dari luar negeri,” kata Lapid dalam sebuah upacara militer.

“Tidak ada yang akan mendikte kami soal aturan keterlibatan kita,” ujarnya.

“Tentara-tentara kita mendapat dukungan penuh dari pemerintah Israel dan rakyat Israel,” tegas pemimpin negeri Yahudi itu.

Sebelumnya, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Vedant Patel mengatakan pada konferensi pers Selasa (6/9): “Kami akan terus menekan mitra Israel kami untuk meninjau dengan cermat kebijakan dan praktiknya tentang aturan keterlibatan dan mempertimbangkan langkah-langkah tambahan untuk mengurangi risiko korban sipil”.

Keluarga Abu Akleh yang geram menyebut Israel telah “menolak untuk bertanggung jawab atas pembunuhan” jurnalis tersebut.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS lainnya, Ned Price juga menggarisbawahi “pentingnya akuntabilitas dalam kasus ini … untuk mencegah insiden serupa terjadi di masa depan.”