Kelompok prodemokrasi Sudan yang terkemuka pada Selasa (5/7) menepis janji bahwa pihak militer akan menarik diri dari perundingan untuk menyelesaikan krisis politik yang sedang berlangsung di negara itu. Langkah militer itu dinilai sebagai “manuver yang jelas, dan penarikan taktis yang seolah-olah menerima gagasan agar militer kembali ke barak, tetapi menghilangkan secara langsung semua maknanya.”

“Sebuah resolusi pertama-tama untuk meminta militer untuk melepaskan kekuasaan dan membiarkan kekuatan revolusioner membentuk pemerintahan transisi yang sepenuhnya terdiri dari masyarakat sipil,” demikian petikan pernyataan yang dirilis oleh Pasukan Untuk Deklarasi Kebebasan dan Perubahan.

Presiden kelompok tersebut, Omer El Dghair, menyampaikan kata-kata dengan efek yang serupa dalam konferensi pers di Khartoum.

Sebuah kelompok medis mengatakan pasukan keamanan Sudan mendatangi aksi duduk anti-kudeta itu untuk berupaya membubarkan para demonstran.

Aksipembubaran itu terjadi tidak lama setelah penguasa militer Sudan Abdel Fattah Burhan berjanji akan mengundurkam diri begitu pemerintahan sipil terbentuk.

Pasukan keamanan menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstran di Burri dan Al Jawda. Sebagian demonstran luka-luka terkena tabung gas air mata dan benda padat lainnya di bagian kepala dan lain-lain, cuit kelompok itu.

Sebelumnya pada pagi hari, Burhan menyampaikan pidato yang disiarkan di televisi nasional bahwa militer akan menarik diri dari perundingan yang dimaksudkan untuk menyelesaikan krisis politik berkepanjangan, dan berjanji akan membubarkan dewan kedaulatan yang dipimpin militer begitu setelah pemerintahan transisi terbentuk.

Dewan itu telah memerintah Sudan sejak militer merebut kekuasaan melalui kudeta dua tahun lalu.

Pernyataan Burhan itu tidak jelas dan tidak merinci kerangka waktu tentang pengunduran diri tersebut. Juga belum diketahui apa maksud Burhan ketika mengatakan militer akan menarik diri dari pembicaraan yang dimediasi secara internasional, antara jenderal yang berkuasa dan gerakan prodemokrasi di Sudan yang telah mengancam akan melakukan kudeta pada bulan Oktober mendatang, dan menuntut pemindahan kekuasaan segera atas pemerintahan sipil.

Aktivis-aktivis prodemokrasi di Sudan telah melakukan aksi duduk di berbagai sudut Khartoum, menuntut agar para jendral itu kembali ke barak dan menyerahkan kekuasaan pada mereka.

Aksi duduk dimulai sehari setelah pihak berwenang melakukan tindakan brutal terhadap pawai anti-kudeta yang menewaskan 9 orang dan melukai 629 orang Kamis lalu (30/6).

Sejak kudeta yang disertai kekerasan, pihak militer Sudan telah menghadapi aksi protes jalanan hampir setiap minggu. Sejauh ini 113 orang tewas, termasuk 18 anak-anak.

Sudan terjerumus dalam kekacauan sejak pengambilalihan militer pada 25 Oktober lalu yang mengubah transisi singkat menuju pemilu setelah pemerintahan represif mantan orang kuat Omar Al Bashir selama 30 tahun.

Al Bashir digulingkan oleh militer lewat pemberontakan rakyat pada April 2019. Setelah kudeta itu, misi politik PBB di Sudan, Uni Afrika dan kelompok Otoritas Antar Pemerintah dalam Pembangunan – yang beranggotakan 8 negara di bagian timur Afrika – telah berupaya menengahi jalan keluar dari kebuntuan politik. Tetapi sejauh itu pembicaraan itu belum membuahkan hasil.

Kelompok-kelompok prodemokrasi telah berulangkali mengatakan tidak akan berunding dengan militer, dan telah mendesak militer untuk segera menyerahkan kendali kepada pemerintahan sipil. [em/lt]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.