Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia Papua, Gustaf Rudolf Kawer, menegaskan perlunya pemerintah mengutamakan kepentingan korban pelanggaran HAM berat dalam upaya penyelesaian masalah HAM di Tanah Air melalui skema KKR. Skema ini oleh banyak orang diharapkan dapat menyelesaikan masalah pelanggaran yang tak dapat diproses secara yudisial, karena ketiadaan alat bukti.
“Kita sepakat, memang KKR penting, pengadilan HAM ad hoc penting dan pengadilan HAM permanen penting, tetapi penyelesaian itu, bagi kami, harus betul-betul mengutamakan korban, dibanding kepentingan negara,” ujarnya kepada VOA.
Prinsip itu sudah harus diterapkan sejak perumusan dasar hukumnya, dalam hal ini undang-undang KKR di tingkat nasional, atau Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) KKR di Papua, yang didasarkan pada UU Otsus 2/2021. Dasar hukum itu tidak boleh memuat pasal-pasal politis, yang mereduksi makna penyelesaian melalui KKR itu sendiri.
Secara substansi, kata Kawer, harus ada upaya pengungkapan kebenaran di dalam dasar hukum yang dibuat.
“Kemudian ada pengakuan dari pelaku bahwa dia bersalah, setelah itu ada pemaafan dari korban, baru kemudian kompensasi, restitusi, rehabilitasi diberikan kepada korbannya. Itu baru kita bilang, persoalan pelanggaran HAM selesai,” tambah Kawer.
Proses Sangat Lambat
Pembentukan KKR sudah dimandatkan oleh UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, khususnya di pasal 47. Memang sempat lahir UU 27/2004 tentang KKR, tetapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, setelah proses judicial review yang dilakukan para aktivis. Salah satu isu krusial dalam UU 27/2004 adalah pengampunan yang diberikan negara, padahal dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, negara turut menjadi pelaku.
Khusus untuk Papua, KKR juga menjadi mandat dari UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, tetapi juga tidak berjalan dan mandat serupa diulang dalam UU 2/2021. Namun tidak ada regulasi dibuat sejak tahun 2001 terkait KKR di Papua. Saat ini, pembentukan KKR Papua, baru dalam tahap diskusi dan wacana, yang antara lain digerakkan oleh para akademisi di Universitas Cenderawasih.
Kawer mangatakan, KKR di Papua menjadi sangat penting karena ada begitu banyak kasus pelanggaran HAM, bahkan sejak sebelum Papua bergabung dengan Indonesia. Menurut data Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) dan Elsham, di kawasan pesisir seperti Manokwari, Biak dan Nabire ditemukan 749 kasus pelanggaran HAM sekitar tahun 1970-an.
“Sedangkan di daerah pegunungan tengah, tahun 1977-1978 menurut data Asian Human Rights Commission di Hongkong dan ICP terjadi pembantaian massal dengan 4.146 korban, pada 1977-1978,” lanjut Kawer.
Saat ini setidaknya sudah ada tiga kasus yang dikategorikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, yaitu Paniai, Wamena dan Wasior. Kasus Paniai siap disidangkan, sedangkan dua kasus lain belum memiliki kejelasan. Selain itu, Kawer juga mengingatkan pemerintah memiliki hutang penyelesaian kasus pelanggaran HAM lain seperti kasus Tanjung Priok, kasus Semanggi, dan peristiwa 65/66.
KKR, ditegaskan Kawer, bisa ditempuh untuk kasus-kasus yang sangat sulit ditemukan alat buktinya sehingga mungkin tidak bisa diselesaikan di pengadilan. Namun, untuk semua kasus yang alat buktinya ada, proses penyelesaian tetap harus melalui jalur hukum. Sayangnya, menurut Kawer semua masih belum jelas, baik itu penyelesaian melalui KKR, pengadilan HAM ad hoc, maupun pengadilan HAM permanen.
KKR Papua Berproses
Guru besar hukum Universitas Cenderawasih, Papua, Prof Melkias Hetharia juga sepakat bahwa KKR bisa ditempuh jika proses hukum tidak menemukan jalan.
“Kita mengambil langkah untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur KKR ini, adalah penyelesaian pelanggaran HAM yang kemungkinan besar tidak memiliki alat bukti lagi. Mengingat sejak 1963 sampai hari ini, kemungkinan besar barang bukti yang kemudian menjadi alat bukti, itu kemungkinan sudah tidak ada, tetapi faktanya ada,” kata Hetharia memberi alasan.
Hetharia adalah pakar yang sejak awal terlibat dalam perumusan pembentukan KKR Papua, bersama tim dari Uncen, setidaknya selama lima tahun terakhir.
Kepada VOA, Hetharia mengungkapkan kerja bertahun-tahun itu termasuk berdiskusi dengan lembaga swadaya masyarakat di Papua, korban pelanggaran HAM dan keluarga mereka. Tujuannya adalah mencari model KKR Papua yang paling sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
Sejumlah negara, seperti Chile, Guatemala, El Salvador, dan Afrika Selatan telah berhasil menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalunya, melalui skema KKR atas desakan dunia internasional. Model yang diterapkan di negara-negara itu, kata Hetharia, bertumpu pada upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial.
“Penyelesaian pelanggaran HAM secara non-yudisial itu, saya kira sangat cocok dengan penyelesaian-penyelesaian masalah-maslaah yang ada di dalam adat istiadat orang Papua. Kami melihat bahwa kearifan lokal orang Papua perlu diadopsi untuk penyelesaian pelangaran HAM berat,” kata Hetharia.
Hetharia menyebut di Papua ada penyelesaian perang suku atau perang suku yang ditimbulkan oleh pembunuhan-pembunuhan sebelumnya, dan tindak kekerasan seksual, melalui penyelesaian secara adat. Kata kunci dari penyelesaian secara adat ini, ujarnya, adalah menuju perdamaian dan harmoni antara masyarakat yang bertikai, dengan cara memberikan ganti rugi atau ganti kepala.
Hetharia menjelaskan, proses pengadilan HAM yang sedang berlangsung tidak terpengaruh oleh pendirian KKR Papua. Misalnya, untuk kasus pelanggaran HAM berat Paniai, yang akan disidangkan di Makassara.
“Pengadilan HAM itu ditempuh secara pro yustisia, secara yudisial. Sedangkan KKR memberikan peluang untuk penyelesaian pelanggaran HAM secara non-yudisial,” lanjutnya.
Dalam setiap pertemuan dengan korban atau keluarga korban pelanggaran HAM di Papua, Hetharia mengaku selalu ada harapan kasus-kasus tersebut segera diselesaikan, baik melalui pengadilan maupun KKR. Proses melalui KKR penting, karena tidak menutup upaya hukum, jika dalam prosesnya ditemukan alat bukti yang cukup. KKR, kata Hetharia, bisa merekomendasikan penyelesaian kasus pelanggaran HAM melaui pengadilan.
KKR adalah mandat dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2021. Pasal 45 UU tersebut menyatakan, untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua, dibentuk pengadilan HAM, komisi HAM dan KKR. Dalam pembentukannya, sesuai pasal 46, KKR diusulkan oleh gubernur, yang kemudian ditetapkan melalui peraturan presiden. [ns/ah]
Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.