Koordinator Khusus untuk Proses Perdamaian di Timur Tengah, Tor Wennesland, pada Kamis (25/8) mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa gencatan senjata antara Israel dan kelompok militan Jihad Islam Palestina di Gaza masih berlaku dan “ketenangan yang rentan telah berhasil dipulihkan” di wilayah itu.

Berbicara di hadapan dewan tersebut, Wennesland mengatakan sejak 8 Agustus lalu perbatasan Erez dan Kerem Shalom telah dibuka sehingga kebutuhan dan bahan-bahan penting dapat masuk. Ia menambahkan bahwa gencatan senjata telah “mencegah eskalasi situasi menjadi perang berskala penuh yang berpotensi menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan.”

Menurut Wennesland, gencatan senjata itu juga memungkinkan dimulainya kembali langkah-langkah yang diterapkan selama setahun terakhir, yang telah menghasilkan bantuan ekonomi yang sangat dibutuhkan orang-orang di Gaza. “Tetapi gencatan senjata ini terbatas hanya untuk mengakhiri permusuhan langsung. Pemicu konflik masih belum terselesaikan,” tambahnya.

Sementara itu, kata Wennesland, aksi kekerasan telah meningkat di sebagian besar wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel. Hal ini menambah masalah yang ada, yaitu: aktivitas permukiman Israel, tantangan politik dan fiskal pada Otoritas Palestina, perpecahan politik di Tepi Barat dan Jalur Gaza, pembatasan gerak dan ekonomi bagi warga Palestina di Gaza, gaya kepemimpinan Hamas dan ancaman aksi kekerasan yang memang selalu ada.

Melihat tantangan tersebut, Wennesland mengatakan “status quo bukan strategi atau opsi strategi – bukan untuk memulai kembali perubahan positif di lapangan atau memulai kembali perundingan antar kedua pihak.”

“Saya mendorong pemimpin Israel dan Palestina, negara-negara di kawasan dan masyarakat internasional yang lebih luas untuk mengambil tindakan tegas guna memungkinkan dilangsungkannya perundingan yang berarti,” demikian pernyataan Wennesland mengakhiri pidatonya.

Komisaris Jenderal United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA), Philippe Lazzarini – yang juga berbicara di dewan itu – mengatakan bahwa lebih 80 persen pengungsi Palestina di Lebanon, Suriah, dan Jalur Gaza, hidup di bawah garis kemiskinan.

Di Gaza, ujar Lazzarini, “eskalasi aksi kekerasan merupakan pengingat yang jelas bahwa lebih banyak aksi kekerasan dapat meletus kapan saja tanpa upaya komprehensif untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel.” Selama krisis pada awal bulan, 60 keluarga pengungsi Palestina kehilangan rumah mereka dan 17 anak tewas – termasuk delapan siswa di sekolah UNRWA.

Presiden US-Middle East Project, Daniel Levy, mengatakan kepada anggota-anggota Kongres bahwa peristiwa ini “sangat mengkhawatirkan karena dapat diprediksi.” “Untuk menjelaskan hal ini, orang Israel berhak mendapat keamanan, orang Palestina juga berhak mendapat keamanan,” tambah Levy.

Berbicara kepada wartawan pada akhir sesi Dewan Keamanan PBB, Utusan Tetap Palestina di PBB Riyad Mansour mengatakan mereka “terbuka untuk ide-ide menyelamatkan solusi dua negara.” Bagi Mansour, “penekanannya di sini adalah menyelamatkan solusi dua negara” dan “tidak cukup untuk mengulangi bahwa kami mendukung solusi dua negara.”

“Beri tahu kami bagaimana menyelamatkan solusi dua negara, karena otoritas pendudukan Israel menghancurkan hal itu di depan mata kami,” ujarnya lirih. [em/ka]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.