AS diperkirakan akan segera memberikan tanggapannya terhadap komentar Iran mengenai proposal naskah untuk menghidupkan kembali perjanjian internasional yang membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pelonggaran sanksi.

Pihak AS sedang mempelajari dokumen yang disusun Uni Eropa (UE) yang muncul dari perundingan berbulan-bulan.

Seorang pejabat senior pemerintah Biden mengatakan bahwa meskipun para pihak semakin dekat ke arah kesepakatan dibandingkan dengan dua pekan silam, “beberapa kesenjangan masih ada.”

Pejabat itu mengatakan proposal UE tidak memuat tuntutan Iran agar AS mengeluarkan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) dari daftar organisasi teroris, maupun permintaan agar Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menutup penyelidikan mengenai jejak uranium yang ditemukan di tiga lokasi yang tidak dilaporkannya.

Palais Coburg tempat pembicaraan nuklir tertutup berlangsung di Wina, Austria, Jumat, 5 Agustus 2022. Putaran baru pembicaraan tentang kebangkitan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) dilakukan di Wina. (Foto: AP/Florian Schroetter)

Palais Coburg tempat pembicaraan nuklir tertutup berlangsung di Wina, Austria, Jumat, 5 Agustus 2022. Putaran baru pembicaraan tentang kebangkitan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) dilakukan di Wina. (Foto: AP/Florian Schroetter)

Delegasi AS dan Iran pada negosiasi di Wina telah berdialog secara tidak langsung, dengan pihak-pihak lain dalam perjanjian itu bertindak sebagai perantara.

Seyed Mohammad Marandi, salah seorang penasihat Iran dalam pembicaraan itu, Selasa mencuit bahwa mengeluarkan IRGC dari daftar organisasi teroris tidak pernah menjadi tuntutan Iran, dan bahwa Iran tidak akan menyetujui suatu kesepakatan sebelum IAEA “menutup dokumen tuduhan palsu.”

Iran dan sekelompok negara yang mencakup AS, Inggris, Tiongkok, Prancis, Rusia dan Jerman pada tahun 2015 setuju untuk menerapkan Rencana Aksi Komprehensif Bersama, yang memberikan Iran pelonggaran sanksi-sanksi yang mencekik ekspor minyaknya yang penting. Tujuan pihak internasional memberlakukan ini adalah untuk memastikan Iran tidak dapat membuat senjata nuklir.

Pada tahun 2018, presiden AS ketika itu, Donald Trump, mundur dari perjanjian yang telah lama ia kritik karena menurutnya terlalu longgar terhadap Iran dan kemudian menambahkan sanksi-sanksi baru terhadap Iran.

Pihak Iran menanggapinya dengan mengambil langkah-langkah tambahan yang menjauh dari komitmen mereka berdasarkan kesepakatan nuklir, termasuk memperkaya uranium ke kadar yang lebih tinggi, menyimpan cadangan uranium diperkaya lebih banyak, dan menempatkan sentrifusa yang lebih canggih di fasilitas-fasilitas nuklirnya.

Presiden AS Joe Biden menduduki jabatannya dengan janji akan menghidupkan kembali perjanjian itu, yang ditandatangani sewaktu ia menjabat wakil presiden di bawah pemerintahan Barack Obama. [uh/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.