Kejaksaan Agung telah menetapkan satu tersangka kasus pelanggaran HAM berat Paniai 2014. Mahkamah Agung juga tengah menyiapkan sidang di Pengadilan HAM Makassar. Namun, keluarga korban menolak terlibat dalam proses itu.

Aktivis pembela HAM yang sekaligus pendamping keluarga korban pelanggaran HAM Berat Paniai 2014, Yones Douw, memastikan mereka tidak menolak proses peradilan di Makassar, Sulawesi Selatan. Yang mereka tolak, menurutnya, adalah keputusan kejaksaan agung, yang hanya menetapkan satu tersangka dalam kasus itu. Penetapan hanya satu tersangka itu, tidak sesuai dengan UU Pengadilan HAM dan fakta yang terjadi di lapangan. Karena itulah, katanya, mereka memutuskan tidak akan terlibat dalam proses pengadilan itu.

Pembela HAM asal Papua, Yones Douw, Senin 21 Maret 2022. (VOA)

Pembela HAM asal Papua, Yones Douw, Senin 21 Maret 2022. (VOA)

“Dalam proses pengadilan HAM di Makassar, keluarga korban tidak akan mendampingi, menyaksikan, karena pelaku pelanggaran HAM di Paniai tersangkanya hanya satu orang,” kata Yones dalam diskusi yang diselenggarakan Komnas HAM, Kamis (18/8).

Penolakan atas penetapan satu tersangka itu logis, karena undang-undang sendiri menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat dilakukan secara sistematis. Karena itu, tidak mungkin tersangka hanya satu orang karena ada rantai komando dalam institusi militer.

“Kesatuan yang terlihat di dalam pelanggaran HAM harus dilibatkan seluruhnya, baik itu petinggi militer sampai eksekutor lapangan, harus diadili. Setelah itu, kami keluarga baru akan mengambil bagian dari pengadilan pelanggaran HAM itu,” tambah Yones.

Perwakilan Dewan Adat Daerah Paniai, Papua (kanan) mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta untuk mengadukan dugaan pelanggaran aparat keamanan (7/12).

Perwakilan Dewan Adat Daerah Paniai, Papua (kanan) mendatangi kantor Komnas HAM di Jakarta untuk mengadukan dugaan pelanggaran aparat keamanan (7/12).

Tak Percaya Pengadilan HAM

Munculnya satu tersangka dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai tentu tidak tiba-tiba. Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, memaparkan proses penyelidikan yang tidak melibatkan masyarakat sipil dalam tim ad-hoc, menjadi salah satu pangkal persoalan. Kejaksaan Agung tidak membuka ruang keterlibatan masyarakat sipil, dan tiba-tiba mengumumkan satu nama sebagai tersangka, yaitu IS, seorang purnawirawan tentara yang sebelumnya menjabat Perwira Penghubung Kodim Paniai.

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti saat memberikan keterangan pers secara virtual terkait tindakan represif polisi dalam unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja, Kamis 8 Oktober 2020. (Tangkapan layar)

Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti saat memberikan keterangan pers secara virtual terkait tindakan represif polisi dalam unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja, Kamis 8 Oktober 2020. (Tangkapan layar)

“Padahal, kalau dalam unsur pelanggaran HAM berat itu harusnya memenuhi soal rantai komando dan bagaimana pertangungjawaban atas skema terstruktur, sistematis dan masif itu sendiri,” papar Fatia.

Karena skema itulah, sangat tidak mungkin jika sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat hanya dilakukan satu orang.

“Makanya tidak heran, kalau teman-teman di Papua, menolak adanya satu tersangka yang diputuskan oleh Kejaksaan Agung ini,” tambahnya.

Pada gilirannya, kondisi ini melahirkan ketidakpercayan masyarakat Papua, khususnya keluarga koban, terhadap proses penegakan hukum dan keadilan. Seharusnya, tambah Fatia, proses ini lebih menyeluruh dengan meminta keterangan pimpinan tertinggi TNI ataupun Polri di tahun 2014 itu.

“Untuk memenuhi unsur rantai komando, bagaimana terstruktur dan sistematisnya penyerangan terhadap para siswa itu. Tetapi, itu tidak ada,” kata Fatia lagi.

Karena itu, jika pemerintah menginginkan adanya kepercayaan masyarakat Papua terhadap pengadilan HAM, akuntabilitas dan transparansi harus diterapkan. Seharusnya kasus ini tidak hanya melahirkan satu tersangka, dan seharusnya petinggi militer dan kepolisian turut diperiksa.

Aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta hari Rabu (17/12) untuk mendesak pemerintah mengusut tuntas pelaku penembakan di Paniai, Papua (foto: VOA/Fathiyah).

Aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta hari Rabu (17/12) untuk mendesak pemerintah mengusut tuntas pelaku penembakan di Paniai, Papua (foto: VOA/Fathiyah).

Saksi dan Korban Harus Dilindungi

Sementara itu, Amiruddin, Wakil Ketua Komnas HAM, dalam diskusi yang sama menyebut perlindungan terhadap saksi dan korban dalam kasus ini adalah amanat undang-undang.

Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin al Rahab. (Foto: VOA)

Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin al Rahab. (Foto: VOA)

“Perlindungan pada saksi adalah perintah pasal 34 UU 26/2000. Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, berhak atas perlindungan fisik dan mental dan ancaman, gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun,” kata Amiruddin.

Perlindungan yang diamanatkan undang-undang itu wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.

Terlepas dari mau atau tidaknya keluarga korban dan para saksi datang ke pengadilan, menurut Amiruddin, harus ditentukan siapa yang bertanggung jawab atas keamanan para saksi itu sendiri.

“Karena ini antara lokasi tempat terjadinya peristiwa dengan pengadilan berjarak jauh. Jika hakim membutuhkan kesaksian, hadir secara fisik, siapa yang akan bertanggung jawab sejak dari awal, menghadirkan saksi itu di depan majelis hakim,” tambah Amiruddin.

Dalam konteks ini, lanjutnya, pengadilan HAM harus mampu mengembalikan harkat dan martabat korban dan keluarganya, sebagai manusia. Alasannya, kata Amiruddin, pengadilan HAM dibentuk tidak sekedar untuk menjatuhkan vonis kepada seseorang.

Pendukung Gerakan Papua Merdeka mengibarkan bendera Bintang Kejora saat upacara pengibaran bendera di Kabupaten Paniai Timur, Papua, 17 Oktober 2008. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin)

Pendukung Gerakan Papua Merdeka mengibarkan bendera Bintang Kejora saat upacara pengibaran bendera di Kabupaten Paniai Timur, Papua, 17 Oktober 2008. (Foto: REUTERS/Muhammad Yamin)

Tantangan kini ada di pundak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). menurut Komnas HAM, lembaga ini harus mampu menjamin bahwa saksi dan korban dapat bersaksi di pengadilan tanpa beban psikologis apapun.

Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, menyebut sampai saat ini belum ada permintaan resmi kepada lembaga tersebut terkait saksi dan korban peristiwa pelanggaran HAM berat Paniai, kaitannya dengan proses persidangan di Makassar.

“Kita mendiskusikan di LPSK untuk melakukan terobosan, karena sampai sekarang belum ada permintaan dari aparat penegak hukum, termasuk dari Komnas HAM, dari saksi maupun korban. Yang kita diskusikan sekarang, terobosan yang bisa dilakukan oleh LPSK. Misalnya, LPSK punya mekanisme yang disebut sebagai tindakan proaktif,” ujarnya.

Tindakan proaktif adalah upaya perlindungan yang diberikan LPSK, tanpa pengajuan yang dilakukan saksi maupun korban, atau oleh lembaga penegak hukum. [ns/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.