Berbagai pihak menyambut positif Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) di Jawa yang di antaranya diperuntukkan untuk perhutanan sosial. Kebijakan itu diharapkan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di dalam kawasan hutan dengan pelibatan masyarakat melalui pengelolaan hutan yang lestari.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 5 April 2022 telah menetapkan Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) pada sebagian hutan negara yang berada pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Provinsi Banten. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 287 Tahun 2022, KHDPK seluas 1.103.941 hektare itu di antaranya untuk kepentingan perhutanan sosial.

Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat.

Barid Hardiyanto dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) berbicara dalam Webinar Pojok Desa, Selasa (16 Agustus 2022) (Foto :Tangkapan Layar).

Barid Hardiyanto dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) berbicara dalam Webinar Pojok Desa, Selasa (16 Agustus 2022) (Foto :Tangkapan Layar).

Barid Hardiyanto dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) menilai kebijakan itu akan memiliki berbagai dampak positif diantaranya rasa memiliki hutan yang tinggi oleh masyarakat, meningkatnya produktivitas yang berpengaruh pada pendapatan masyarakat yang lebih baik melalui agroforestry.

“Produktivitas yang tinggi akan berdampak pada pendapatan yang lebih baik bagi petani. Jadi kemiskinan yang terjadi di 5.400-san desa yang ada hutannya yang diklaim negara sebagai kawasan hutan negara, dengan perluasan akses ini KHDPK maka akan membuat pendapatan lebih tinggi bagi masyarakat,” kata Barid Hardiyanto dalam webinar Forum Pojok Desa bertema KHDPK Sebagai Keadilan Untuk Pengelolaan Hutan di Pulau Jawa, Selasa (16/8).

Selain untuk perhutanan sosial, KHDPK juga bermanfaat untuk penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Ketua Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Se-Indonesia (AP2SI), Roni Usman Kusmana mengatakan pelibatan masyarakat dalam perhutanan sosial memunculkan perbaikan lingkungan seperti berkurangnya kasus kebakaran hutan dan lahan di kawasan konservasi Kamojang, Garut, Jawa Barat.

Sekelompok pengendara sepeda beristirahat selama perjalanan mereka di hutan hujan Gunung Burangrang di pinggiran Bandung, Jawa Barat. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Sekelompok pengendara sepeda beristirahat selama perjalanan mereka di hutan hujan Gunung Burangrang di pinggiran Bandung, Jawa Barat. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

“Ini saya ambil contoh Kamojang. Kamojang itu setiap tahun terjadi kebakaran luar biasa tapi Alhamdulillah sejak tahun 2017 sampai sekarang semuanya bisa diminimalisir, kemudian kebakaran hampir mungkin tidak ada lagi, karena mereka sendirilah yang menjaga, merawat,” kata Roni Usman.

Roni Usman berharap dengan penetapan KHDPK itu dapat menjawab krisis ekologi atau pemulihan kawasan hutan, menyelesaikan konflik dan menyejahterakan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.

KHDPK Upaya Memperbaiki Kebijakan Pengelolaan Hutan di Jawa

Dalam siaran Pers, Kamis (21/7), Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Suprianto menjelaskan melalui KHDPK diharapkan dapat menjawab permasalahan sosial dan ekologi di kawasan hutan Jawa.

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Suprianto berbicara dalam Webinar Perhutanan Sosial Nasional, Kamis (21 Juli 2022) (Foto : Tangkapan Layar).

Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Suprianto berbicara dalam Webinar Perhutanan Sosial Nasional, Kamis (21 Juli 2022) (Foto : Tangkapan Layar).

Dijelaskannya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2021) dari 25.863 desa yang berada di sekitar kawasan hutan, 36,7 persen termasuk kategori miskin. Sementara, angka kemiskinan di Pulau Jawa sebanyak 14 juta orang atau 52 persen dari total penduduk miskin nasional sebanyak 26,5 juta penduduk. Permasalahan lainnya terdapat desa atau kampung di dalam kawasan hutan yang terisolir dan tertinggal seluas 7.236 hektare. Selain itu, dari 2,1 juta hektare lahan kritis di Jawa, 472 ribu hektare berada di dalam kawasan hutan.

“Nah kondisi itu, bapak dan ibu membuka kesadaran bersama untuk memperbaiki kebijakan pengelolaan hutan di Jawa yang sebagian besar di kelola oleh Perhutani. Perhutani itu kan operator sebetulnya, bukan negara, operator pelaku ekonomi, BUMN sama dengan HPH HTI juga cuma kepemilikannya oleh negara,” kata Bambang Suprianto dalam Webinar Perhutanan Sosial Nasional, Kamis (21/7).

Dia mengatakan dengan kebijakan KHDPK dapat mengatasi permasalahan masyarakat di kawasan hutan, disamping itu, agar Perum Kehutanan Nasional (Perhutani) dapat fokus pada bisnis usahanya.

Pasca penetapan SK 287 Tahun 2022, pemerintah sedang mempersiapkan penyusunan Peraturan Menteri LHK dalam mengakomodir dinamika dan fakta di lapangan dalam bentuk pedoman untuk KHDPK secara umum termasuk perhutanan sosial.

Sementara itu menyangkut keresahan oleh sebagian karyawan Perhutani dengan adanya SK KHDPK juga telah dipikirkan oleh Pemerintah dan telah diatur dalam regulasi Karyawan Perhutani akan bertransformasi menjadi pendamping Perhutanan Sosial. [yl/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.