RedaksiHarian – Survei Kelayakan Kerja dari Program Data Academy oleh Gajimu.com dan Trade Union Rights Centre (TURC) menemukan satu dari 20 responden melaporkan adanya kasus pelecehan seksual di tempat kerja.

External Project Manager Gajimu, Dela Feby dalam keterangannya di Jakarta, Senin, menyampaikan pada 4.529 pekerja di 149 pabrik tekstil, garmen, alas kaki, dan kulit (TGSL) di lima wilayah Indonesia pada 2022, menemukan sebanyak 3.819 responden, terdapat satu pabrik di Banten dan lima pabrik di Jawa Barat yang dilaporkan pernah terjadi kasus pelecehan seksual.

“Fakta ini disampaikan oleh 194 responden, artinya satu dari 20 responden yang bekerja di pabrik TGSL melaporkan adanya kasus pelecehan seksual di tempat kerjanya dalam satu tahun terakhir,” paparnya.

Ia menambahkan dominasi perempuan di pabrik TGSL membuat pekerja perempuan rentan akan pelecehan seksual. Sebanyak 115 responden atau 5,5 persen dari keseluruhan responden perempuan menyatakan bekerja di pabrik dengan laporan pelecehan seksual.

Persentase ini lebih besar daripada 79 responden atau 4,6 persen dari keseluruhan responden laki-laki yang menyatakan hal yang sama.

Menurut usianya, disampaikan sebanyak 90 responden adalah pekerja muda atau 7,4 persen dari keseluruhan responden dalam rentang usia 20-29 tahun dan 56 responden atau 4,8 persen dari keseluruhan responden berusia 30-39 tahun.

“Ini menunjukkan betapa pentingnya instrumen hukum yang dapat melindungi pekerja dari pelecehan seksual di tempat kerja,” katanya.

Dela Feby menilai penerbitan Kepmenaker No.88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja menjadi angin segar dalam upaya penghapusan kekerasan seksual.

“Pedoman yang belum genap sebulan ini merupakan angin segar dalam upaya penghapusan kekerasan seksual,” ujarnya.

Namun, ia memberikan catatan bahwa pedoman itu menjadikan aspek penanganan, pelindungan, dan pemulihan hanya sebagai tahapan. Sementara dalam UU TPKS, ketiga aspek ini jelas-jelas disebut sebagai hak korban.

Imbasnya, lanjutnya, dalam bagian pelindungan, pedoman memberikan layanan yang setara kepada korban dan pelaku apabila terjadi pelanggaran norma ketenagakerjaan dan atau perselisihan hubungan industrial oleh perusahaan akibat kekerasan seksual.

Demikian pula pada bagian pemulihan, cuti yang menjadi hak korban dalam hal memerlukan konseling karena trauma dan menjalani proses penanganan kasus adalah cuti sakit. Dalam praktiknya, catatan cuti sakit turut menjadi penilaian kinerja pekerja.

“Di sektor TGSL khususnya, pekerja dianggap tidak memenuhi target kerja karena cuti sakit,” katanya.