RedaksiHarian – Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Dirjen P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maxi Rein Rondonuwu mengatakan pentingnya membangun komunikasi risiko multi-pihak, termasuk pada kelompok masyarakat, untuk mencegah penyakit menular.”Perlu ada komunikasi risiko yang baik untuk membujuk orang yang tidak mau vaksin, tidak mau minum obat. Untuk itu penting bagaimana kita membangun komunikasi risiko, bukan hanya untuk COVID-19, tetapi juga penyakit menular lain yang masih mengancam kitaseperti tuberkulosis danHIV,” kata Dirjen P2P KemenkesMaxiReinRondonuwu di Jakarta, Senin.
Maxi menegaskanpenting juga untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan penguatan komunikasi risiko melalui tenaga kesehatan (nakes) yang ada di layanan kesehatan primeryakni puskesmas.”Penting membangun kepercayaan (trust) masyarakat agar mau divaksin dan berobatagar tercapai transformasi layanan kesehatan primer, termasuk puskesmas,” ujarnyapada acara “Apresiasi dan Pembelajaran Program Komunikasi Risiko Pemberdayaan Masyarakat dan Dukungan Vaksinasi COVID-19” yang didukungKemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP).Selain ituia juga menekankan pentingnya penyampaian komunikasi risiko yang inklusifdemi peningkatan layanan vaksinasi yang menjangkau para kelompok rentan.
“Kita bisa asalkan gotong royong dan kerja sama. Inisiatif yang mengupayakan layanan inklusif ini sangat bagus, karena banyak sekali kendala yang kita temui di daerah, misalnya nakes yang tidak sanggup menjangkau jarak 50 km dari puskesmas sampai ke perumahan warga,” tuturnya.Menurutnya, Komunikasi Risiko PemberdayaanMasyarakat (KRPM) sangat penting untuk edukasi dan sosialisasi agar masyarakat mau mendapatkan vaksin atau mau datang berobat ke puskesmas apabila terkena penyakit.Salah satu perwakilan relawan kesehatan dari Komunitas Peduli Lansia Jawa Tengah, Aron Aan Damara, mengatakan pentingnya membangun komunikasi risiko di daerah karena masyarakat harus didekati secara terus-menerus, tidak bisa hanya sekali.”Saya pernah mengunjungi ibu-ibu lansia usia 70-an, saat pertama kali saya datang beliau tidak mau divaksin, kemudian saat datang yang kedua kali, komunikasinya saya ubah, saya bilang nanti saya gendong, saya peluk, akhirnya beliau mau,” kisah Aron.Untuk ituMaxi menyatakan contoh komunikasi risiko yang berhasil, utamanya di daerah, bisa menjadi pembelajaran dan diterapkan untuk mencegah penularan penyakit lain, juga untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi pandemi pada masa depan.