redaksiharian.com – Sekarang ini, masyarakat Indonesia sudah semakin mempercayai kualitas brand lokal.
Hari demi hari, banyak produk –terutama fesyen dan kecantikan– dari brand lokal sukses di pasaran karena harga yang terjangkau serta kualitas yang tidak kalah bagus dari brand luar.
Meski memiliki revenue atau pendapatan yang menjanjikan di awal bisnis, tak sedikit brand lokal yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dan hilang.
Hal ini diungkapkan Achmad Alkatiri, founder dan CEO Hypefast dalam diskusi “Mengupas Tren Brand Lokal 2023”.
Berdasarkan data yang diambil dari 5.000 sampel brand lokal di Indonesia, Hypefast menemukan sekitar 80 persen sampel memiliki revenue di bawah Rp 500 juta per bulan, dan hanya sedikit sampel yang memperoleh pendapatan di atas itu.
Mengacu pada fakta tersebut, Achmad menjelaskan bahwa brand lokal bisa bertahan jika menerapkan kecepatan dalam berinovasi. Sayangnya, hal ini tidak mudah dilakukan.
“Masalah paling besar dari teman-teman brand lokal sebenarnya disebabkan oleh ego brand founder. Mereka selalu merasa apabila mereka suka produknya, customer mereka bakal suka. Padahal tidak,” ungkap Achmad di Jakarta, Rabu (21/6/2023).
“Rata-rata brand founder berusaha percaya diri pada produknya, tetapi mereka tidak ngobrol dengan customer.”
Ia mencontohkan di mana sebuah brand lokal menjual produk sabun seharga Rp 350.000 namun tidak melakukan pendekatan kepada audiens, sehingga produknya sulit laku di pasaran.
“Mungkin ini brand founder yang berasal dari rich background. Ring-nya dia adalah orang-orang yang bisa afford Rp 350.000 untuk sebuah sabun, tetapi mass market di Indonesia kan tidak,” lanjutnya.
Apalagi, menurut dia, pertumbuhan brand lokal saat ini diibaratkan sebagai pedang bermata dua.
Di satu sisi, masyarakat sudah mempercayai kualitas brand lokal. Namun di sisi lain, ekspektasi masyarakat terhadap brand lokal semakin tinggi.
“Dari data kami terlihat, apa yang terpenting bagi brand lokal bukan hanya mengenai kualitas produk, tetapi juga experience (produknya bagus dan awet), testimoni positif, dan mass market,” sambung Achmad.
“Brand lokal yang menyediakan produk premium biasanya memiliki margin lebih besar, tetapi ketika sudah mencapai Rp 1-2 miliar, pendapatan mereka susah naiknya. Sedangkan mass market lebih cepat.”
Permasalahan lain yang dihadapi kebanyakan brand lokal adalah sumber daya manusia yang tidak memadai.
“Brand lokal yang baru merintis tidak mempunyai dana untuk memperkuat SDM. Tapi kita sering melihat brand founder mempermasalahkan kualitas SDM mereka, padahal tidak mau membayar mahal.”
“Ada brand founder yang spending margin mereka buat membangun tim yang bagus, biasanya ini yang pertumbuhannya lebih baik,” kata Achmad.
Terkadang, ada juga brand founder yang sudah berada dalam tahap mampu merekrut talent dengan harga tinggi, namun tidak rela melakukannya.
“Brand founder biasanya menggaji diri mereka relatif lebih kecil, dan cenderung tidak terima jika gaji karyawan lebih tinggi dari mereka,” ungkap Achmad.
“Sebenarnya pemahaman mengenai seberapa penting talent itu kembali ke pola pikir brand founder. Sayangnya banyak dari mereka masih berpikir jika pengetahuan yang dimiliki talent tak jauh berbeda dari mereka. Padahal tidak demikian.”