Sudah bukan rahasia bahwa Bali adalah salah satu surganya pengembara digital alias digital nomad. Tidak hanya karena iklim tropisnya, tapi juga karena rendahnya biaya hidup di sana.

Tapi, juga bukan rahasia lagi, banyak digital nomad yang berbasis di Bali beroperasi secara diam-diam. Mereka umumnya datang sebagai turis, tapi menyelesaikan pekerjaan mereka di sana untuk perusahaan-perusahaaan yang berbasis di luar negeri. Singkat kata, mereka legal berada di Bali, tapi menghindar dari kewajiban membayar pajak penghasilan di Indonesia.

Paling tidak itu diakui Sarah, bukan nama sebenarnya, seorang penerjemah dari Spanyol. “Saya terpaksa mengaku sebagai turis. Saya beberapa kali keluar masuk Bali, untuk bisa bekerja di sini. Kadang ke Singapura, kadang ke Malaysia, baru kembali lagi ke sini,” katanya.

Wisatawan menikmati sunset di Pantai Canggu di tengah pandemi COVID-19 di Bali, 2 Desember 2021. (Foto: REUTERS/Johannes P. Christo)

Wisatawan menikmati sunset di Pantai Canggu di tengah pandemi COVID-19 di Bali, 2 Desember 2021. (Foto: REUTERS/Johannes P. Christo)

Namun, ia membantah bahwa ia tidak bersedia membayar pajak. Ia sendiri mengaku memenuhi kewajiban pajaknya lewat perusahaan tempatnya bekerja di Spanyol. Lagi pula, katanya, ia berada di Bali untuk periode 3-4 bulan seperti turis pada umumnya. Ia sendiri berencana pindah ke Bangkok setelah dari Bali.

Pengakuan serupa disampaikan John, juga bukan nama sebenarnya, seorang kreator konten dari Amerika. “Senang sih tinggal di Bali, tapi selalu deg-degan, karena sering merasa diintai petugas imigrasi,” tuturnya.

John menganggap, kehadirannya di Bali menguntungkan, dan tidak merugikan, masyarakat setempat. Ia mengatakan, digital nomad seperti dirinya dan teman-temanya ikut membantu memulihkan perekonomian masyarakat Bali. John mengaku dalam sebulan ia menghabiskan rata-rata $2.000-2.500 untuk berbagai keperluan.

John enggan mengungkapkan telah berapa lama tinggal di Bali. Ia hanya mengatakan telah beberapa kali ke luar masuk Bali, demi mempertahankan legalitas izin tinggalnya, seperti halnya teman-temannya.

Wisatawan asing yang membawa barang bawaannya berjalan kaki saat tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. (Foto: REUTERS)

Wisatawan asing yang membawa barang bawaannya berjalan kaki saat tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. (Foto: REUTERS)

Saat ini, pengunjung asing memang bisa mendapatkan visa turis selama maksimal 60 hari atau melewati berbagai rintangan hukum untuk mendapatkan izin kerja sementara enam bulan. Tetapi siapa pun yang tinggal di Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam setahun secara otomatis diharuskan membayar wajib pajak daerah — yang berarti dikenai tarif pajak Indonesia atas penghasilan luar negerinya.

Bagaimana dengan KITAS? Banyak orang awam beranggapan, itu adalah solusi terbaik untuk para digital nomad. Anggapan itu keliru. Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) hanya bisa diperoleh mereka yang sudah lama berinvestastasi di Indonesia atau mereka yang bekerja untuk perusahaan yang beroperasi di Indonesia.

Paling tidak itu dibenarkan Agung Suryawan Wiranatha, Ketua Pusat Keunggulan Pariwisata, Universitas Udayana, Bali.

“Kalau perusahaannya di Amerika dan kemudian dia bekerja online di Bali, dia tidak akan mendapat KITAS karena dia tidak bekerja untuk perusahaan di Indonesia,” katanya.

Agung menyambut positif janji Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno untuk mengembangkan jenis visa bagi pengembara digital ini. Menurutnya, dunia digital semakin berkembang, sehingga sudah sepantasnya Indonesia memanfaatkan peluang ini.

Agung Suryawan Wiranatha, Ketua Pusat Keunggulan Pariwisata, Universitas Udayana, Bali. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Agung Suryawan Wiranatha, Ketua Pusat Keunggulan Pariwisata, Universitas Udayana, Bali. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

“Sebenarnya, trennya ke depan ini adalah digital semua. Makanya pemerintah melihat adanya peluang perkembangan digital nomad. Tahun 2015 mulai merangkak, dan tahun 2018 mulai ramai. Namun kemudian ada COVID. Kalau tidak ada COVID, akan semakin banyak digital nomad yang datang,” ujar Agung.

Visa digital nomad Indonesia akan berlaku selama lima tahun, dan Indonesia tidak akan mengenakan pajak atas pendapatan yang diterima dari luar negeri. Uno juga menjanjikan persetujuan visa yang lebih cepat dan frekuensi penerbangan luar negeri yang lebih banyak.

Semakin banyaknya digital nomad, menurut Agung, bisa dilihat dari jumlah penyedia jasa coworking space — atau ruang yang biasa digunakan para digital nomad untuk bekerja – yang meningkat pesat. Di Ubud dan Canggu, yang dianggap kawasan favorit digital nomad di Bali, menurutnya, jumlahnya kini telah mencapai puluhan.

Pengunjung terlihat di dalam kafe yang sering dikunjungi orang Rusia di Kabupaten Badung, Bali, 8 Maret 2022. Pemerintah Indonesia bersiap meluncurkan visa digital nomad. Bali menyambut positif rencana ini. (Foto: REUTERS)

Pengunjung terlihat di dalam kafe yang sering dikunjungi orang Rusia di Kabupaten Badung, Bali, 8 Maret 2022. Pemerintah Indonesia bersiap meluncurkan visa digital nomad. Bali menyambut positif rencana ini. (Foto: REUTERS)

“Kalau dilihat dari jumlah coworking space yang banyak, mungkin ada ribuan (digital nomad) yang tinggal di Bali,” kata Agung.

Agung mengaku sulit memastikan berapa banyak digital nomad yang ada di Bali. Penelitian terbatas yang dilakukan lembaga yang dipimpinnya tidak membuahkan hasil yang diinginkan. Banyak digital nomad tidak bersedia didata karena persoalan legalitas mereka. Meski demikian, Agung mengatakan badan yang dipimpinnya akan berkerjasama dengan sebuah tim Prancis melakukan pemetaan digital nomad di Eropa dan Asia dalam waktu dekat.

Gonan Nasution, co-owner Tribal Bali. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Gonan Nasution, co-owner Tribal Bali. (Foto: Dokumentasi Pribadi)

Gonan Nasution pemilik bersama Tribal Bali, penyedia coworking space, juga menyambut kehadiran visa digital nomad.

“Ya kita sangat senang dengan berita baik tentang diterbitkannya visa digital nomad. Sepanjang pengalaman saya, biasanya kalau kita bicara soal visa ini, ini berkaitan dengan tax. Namun sebetulnya, banyak dari tamu kita yang senang mendengarkan berita baik ini karena mereka akan ikut men-support local economy di Bali dan Indonesia. Yang kita ingin ketahui sekarang apa yang bisa kita lakukan dan tidak bisa kita lakukan,” papar Gonan.

Pendapat serupa dilontarkan Dimas Ramadhan, seorang digital nomad asal Indonesia yang saat ini sedang melanglang di Eropa. Dimas, yang pernah menetap sementara di 57 negara asing, mengatakan, sudah saatnya Indonesia mengeluarkan visa tersebut mengingat kontribusi digital nomad yang signifikan dalam menggairahkan perekonomian lokal, terutama sektor wisata.

Dimas Ramadhan, digital nomad asal Indonesia saat berada di Roma, Italia, dalam perjalanan keliling Eropa (Dokumentasi Pribadi)

Dimas Ramadhan, digital nomad asal Indonesia saat berada di Roma, Italia, dalam perjalanan keliling Eropa (Dokumentasi Pribadi)

Dimas mengatakan, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menetapkan aturan secara tegas sehingga pelaksanaannya tidak salah kaprah, termasuk ditetapkannya persyaratan mengenai berapa penghasil tahunan minimum digital nomad yang bisa tinggal di Indonesiaa.

Sebagai digital nomad asal Indonesia di luar negeri, Dimas mengaku menghadpi persoalan serupa terkait izin tinggal. Pasalnya, belum semua negara menawarkan visa khusus untuk mereka.

“Saat ini saya travelling di Eropa sambil bekerja sebagai digital nomad. Karena menggunakan visa turis, saya maksimum bisa stay selama 90 hari. Jadi nggak bisa lebih dari tiga bulan. Saya harus menunggu another three months untuk bisa kembali masuk ke Schengen area. Pastinya saya berharap semua negara mengeluarkan visa seperti ini,” katanya.

Gonan mengatakan, ada sejumlah hal yang perlu dilakukan pemerintah Bali untuk memastikan peluncuran visa digital nomad membuahkan hasil yang maksimal.

Wisatawan asing menikmati pemandangan matahari terbenam di Pura Tanah Lot di Bali, 22 November 2007. (Foto: REUTERS)

Wisatawan asing menikmati pemandangan matahari terbenam di Pura Tanah Lot di Bali, 22 November 2007. (Foto: REUTERS)

“Pemerintah Bali harus fokus pada peningkatan infrastruktur yang pada gilirannya mendukung semua bisnis di Pulau Bali. Internet di Bali sangat bagus, yang itu paling penting bagi digital nomad. Tetapi lalu lintas selalu jadi masalah, terutama di Canggu. Kami juga menginginkan visibilitas hukum yang lebih tinggi di area untuk memastikan bisnis dan turis berperilaku baik. dan memperlakukan penduduk dan budaya lokal dengan hormat,” ujarnya.

Persoalan prasarana dan keamanan juga menjadi fokus perhatian Agung. Ia mengatakan, pemerintah Bali perlu memastikan jaringan internet selalu stabil, kebersihan lingkungan terjaga, dan masyarakat Bali dan para tamu mereka memelihara sikap saling menghormati. Ia berharap para turis yang sedang bekerja di pantai atau sawah, misalnya, tidak diganggu warga sekitar. Pemerintah Bali, katanya, harus semakin menggalakkan dan memvariasikan pertunjukkan kesenian melalui festival-festival untuk memupus kebosanan para turis.

Terkait pajak, tarif di Indonesia sebetulnya tidak terlalu tinggi. Tarif pajak tertinggi adalah 35% untuk pendapatan di atas $350.000 per tahun. Sebagai perbandingan, AS memberlakukan pajak 35% untuk pendapatan tahunan antara $215.950 dan $539.900, sementara Inggris membebankan tarif 45% untuk pendapatan di atas $187.000.

Namun, dibanding surganya digital nomad lain, seperti Dubai, apa yang diberlakukan Indonesia membuat para pengembara digital enggan melaporkan diri secara resmi. Sebagai informasi, Dubai menawarkan visa digital nomad yang berlaku satu tahun yang dapat dengan mudah diperbarui, dan tidak mengenakan pajak penghasilan sama sekali.

Visa digital nomad Indonesia juga akan lebih lama dari visa digital nomad lainnya yang tersedia saat ini di 33 negara termasuk Jerman, Meksiko, Barbados, dan Estonia. Menurut Data yang dirilis Harvard Business School, sebagian besar visa digital nomad menawarkan masa tinggal satu hingga dua tahun dan membebaskan pemegangnya dari pajak penghasilan lokal.

Visa digital nomad Indonesia akan mengatur apa yang sudah dilakukan pekerja jarak jauh di Bali sejauh ini. Visa itu akan menghapus kebutuhan mereka untuk memperpanjang visa setiap beberapa bulan, dan menghilangkan risiko deportasi cepat karena melanggar aturan. Kehadian visa ini juga menghapus risiko membayar pajak ganda sepanjang pendapatan mereka memang sepenuhnya berasal dari luar negeri.

“Kalau itu jadi kenyataan, wow saya senang sekali. I love Bali,” kata John.

Hingga saat ini belum ada kepastian kapan visa digital nomad akan mulai ditawarkan Indonesia. Namun, yang pasti sejumlah pengusaha industri pariwisata di Bali sudah mengeluhkan kemungkinan lama berlakunya visa itu. Menurut mereka, visa tersebut sebaiknya berlaku maksimal dua tahun, bukan lima tahun. Ada kekhawatiran, jangka waktu lima tahun membuka kemungkinan terciptanya bisnis ilegal yang dijalankan para pendatang itu. [ab/uh]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.