redaksiharian.com – yang ditawarkan Prabowo Subianto dalam upaya menyikapi perang Ukraina dan Rusia, mendapat kritikan keras dari luar dan dalam negeri.
PDIP, melalui Sekjennya, Hasto Kristiyanto, mengkritik proposal tersebut sebagai ide buruk yang menunjukan Prabowo tidak memahami kebijakan politik luar negeri Indonesia bebas dan aktif.
Menurut Hasto, jika Ganjar Pranowo yang menawarkan proposal tersebut, pasti akan selaras dengan pikiran Bung Karno, seperti menginisiasi Konferensi Asia Afrika dulu.
Sebelumnya, Gerindra pernah melayangkan serangan terhadap bakal capres PDIP, Ganjar Pranowo. Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, Hasim Djojohadikusumo, menyerang Ganjar dengan perkataan capres yang doyan nonton film porno.
Omongan Hasyim tersebut memang benar fakta karena diakui sendiri oleh Ganjar dalam sebuah podcast, jauh sebelum dirinya dicalonkan PDIP menjadi capres 2024 .
Tak berbeda dengan dua kandidat bakal capres sebelumnya, Anies Baswedan , juga melakukan serangan yang sama kepada Ganjar Pranowo.
Pada pidatonya di hadapan pendukungnya, Anies mengatakan kalau kunjungannya ke daerah-daerah bukan berolahraga lari lalu selfi dan kemudian di-upload ke media sosial. Menurut dia, dalam setiap kunjungan ke rakyat, tidak pernah membawa kamera.
Memang, berbagai perilaku saling sindir tersebut, meski tidak secara eksplisit menyebutkan nama yang diserangnya, namun sangat mudah bagi masyarakat tahu siapa gerangan orang yang disindir oleh masing-masing bacapres atau kelompoknya.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa realitas politik menuju pilpres 2024 , hari ini, masih sangat dijejali ucapan ataupun pernyataan nir-gagasan.
Tentu sangat mengkhawatirkan, sebab sudah tinggal beberapa bulan lagi, rakyat masih disuguhkan perang sindir tanpa makna substantif.
Sampai saat ini, rakyat Indonesia masih menunggu, baik Prabowo, Ganjar, maupun Anies mau berbuat apa untuk rakyat, bangsa, dan negara ini lima tahun ke depan, jika nanti terpilih menjadi presiden.
Riuhnya Gimmick
Selain sindir-menyindir, politik menuju panggung RI 1 juga dipenuhi dengan berbagai keriuhan gimmick politik, terutama dilakukan oleh para elite dari partai pengusung.
Hampir setiap hari, tak henti-hentinya pengusung Anies Baswedan memproduksi gimmick ke publik.
Kelompok ini melakukan politik victimisasi seakan pemerintah sedang berupaya menjegal Anies untuk menjadi kandidat capres.
Padahal, jika mau jujur, problemnya ada pada tubuh Koalisasi Perubahan itu sendiri. Partai-partai pengusung seperi PKS, Nasdem, dan Demokrat, sampai hari ini masih belum selesai menyepakati siapa yang akan jadi calon wakil presiden pendamping Anies.
Belum adanya kesepakatan itu, tentu patut diduga karena masing-masing dari mereka masih berkutat dalam ego untuk meloloskan kepentingannya. Ironisnya, rakyat diajak untuk membenci pihak eksternal sebagai biang masalahnya.
Gimmick politik juga dilancarkan oleh PDIP yang dinilai sebagai upaya mengkooptasi kohesi Koalisi Perubahan.
Puan Maharani, di hadapan awak media menyatakan bahwa Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) adalah salah satu calon yang juga masuk dalam hitungan PDIP untuk dipasangkan dengan Ganjar Pranowo.
Tentu saja pernyataan tersebut menjadi dentuman bagi Koalisi Perubahan, di tengah terseok-seoknya mereka memfinalisasi sosok cawapres.
Lagi-lagi, rakyat dibawa dalam drama yang jauh dari idealisasi kontestasi kepemimpinan: ide dan gagasan.
Agaknya, situasi produksi dan reproduksi sindiran dan gimmick politik seperti demikian akan terus mewarnai perjalanan menunju ke pilpres 2024.
Lalu, rakyat hanya akan diberikan waktu yang sempit (hanya pada masa-masa kampanye) untuk mendengarkan ide dan narasi normatif para kandidat.
Tentu saja, dalam kesempitan waktu tersebut, rakyat juga akan dipaksa untuk memilih dengan “pengetahuan seadanya” tentang ide dan gagasan para calon yang ada.
Untuk mengondisikan situasi, para elite kemudian akan menyebarkan propaganda usang “pilihlah yang baik dari yang terburuk”.
Bukankah demikian rakyat dijejali yang buruk-buruk? Hal ini karena tidak diberi waktu untuk menilai dan menganalisis secara mendalam ide dan gagasan para capres, dengan waktu yang memadai.
Kapitalisasi Blunder
Para calon dan partai koalisinya sedang berdoa dalam diam mereka supaya kandidat lain melakukan blunder. Dengan itu, mereka akan mengkapitalisasi blunder tersebut untuk memenangkan hati rakyat.
Tentu saja dengan cara menginjak punggung calon yang membuat blunder dengan kaki berlumpur, untuk mendapatkan citra positif diri di hadapan rakyat.
Meski amplitudonya belum terlalu besar, kapitalisasi blunder sudah mulai dilakukan para kubu yang akan bertarung di Piplres nanti.
Serangan PDIP terhadap proposal perdamaian Ukraina-Rusia yang ditawarkan oleh Prabowo, adalah wujud nyata dari kapitalisasi blunder tersebut.
PDIP berupaya menunjukan kepada rakyat bahwa apa yang dilakukan oleh Prabowo tersebut salah dan bertentangan dengan ideologi dan politik luar negeri kita.
Melalui serangan tersebut, PDIP berharap citra Prabowo akan buruk sehingga bisa menggerus pemilihnya yang memang sedang naik menurut berbagai hasil survei terbaru.
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh PDIP tersebut bisa dikatakan semacam serangan balasan atas upaya Gerindra mengkapitalisasi blunder Ganjar Pranowo.
Saat Ganjar menolak Israel untuk bertanding dalam perhelatan sepakbola dunia U-20 di Indonesia, Gerindra menyerangnya dengan sebutan capres yang antisepak bola.
Gerindra berkamuflase dalam sentimen negatif publik saat itu, untuk menyerang Ganjar. Hasilnya, Ganjar yang sebelumnya mengungguli Prabowo dan Anies dalam setiap survei, kini berbalik di posisi kedua, di bawah Prabowo.
Seandainya kita secara jernih melihat apa yang dilakukan oleh Prabowo (terkait proposal perdamaian Ukraina-Rusia) dan sebelumnya Ganjar (terkait penolakan terhadap Tim sepakbola Israel) keduanya memiliki tujuan positif, yakni perdamaian dunia dan hak asasi manusia.
Prabowo mengusulkan proposal tersebut dalam rangka menghentikan perang yang telah menelan korban jiwa dan merusak sendi-sendi perekonomian dunia.
Pun, Ganjar menolak kedatangan Tim Israel ke Indonesia, sebagai protes atas invasi yang kerap dilakukan oleh negara itu ke Palestina – jutaan rakyat Palestina yang menjadi korbannya.
Para elite politik tentu saja sama-sama memahami niat baik dari tindakan kedua capres di atas. Namun, atas nama kepentingan politik partai dan kelompoknya, misi yang dilandasi dengan niat mulia tersebut diframe sedemikian mungkin, seolah-olah buruk.
Rakyat yang tidak dewasa kemudian menerima frame itu sebagai kebenaran, sehingga munumbuhkan perasaan kebencian terhadap yang lain.
Amplifikasi Media
Kontestasi nir-gagasan yang lebih banyak dibumbui dengan gimmik poltik serta kapitalisasi blunder, makin meluas karena adanya amplifikasi media.
Setiap hari media memburu soundbite dan clikbait dari para politisi oportunis-pragmatis, untuk kemudian disebarkan ke rakyat melalui apa yang mereka klaim sebagai kebijakan ruang redaksi.
Upaya konstruksi terhadap realitas politik hari ini, melalui frame pemberitaan yang dilakukan media, seperti mengangkangi prinsip dan etika jurnalistik yang seharusnya menjadi pandu dalam gerak mereka.
Frame itu muncul tentu saja melalui potongan pernyataan yang menegasikan konteks, headline yang menggiring, penggunaan diksi yang kurang bijak, dan lain sebagainya.
Ironisnya lagi, media tanpa malu-malu menghiasi ruang redaksi dengan warna yang selaras baju partai, si empunya media.
Situasi semakin buruk ketika rakyat pengguna media sosial (netizen) ikut lebur dalam hiruk pikuk politik praktis, tanpa menghidupkan alarm kebajikannya.
Padahal, sebagaimana yang diingatkan Kovach dan Rosenstiel, dalam karyanya Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload, warga (netizen) punya hak dan juga tanggung jawab dalam penyebaran informasi.
Belum terlambat memang, meski beberapa bulan sudah terbuang percuma, rakyat Indonesia tentu saja sedang menunggu ide dan gagasan para calon-calon yang ada.
Apa yang akan mereka perbuat untuk Indonesia selama lima tahun ke depan, perlu digaungkan segera secara jelas. Dengan itu, rakyat tidak merasa sedang membeli kucing dalam karung.
Kepada Ganjar Pranowo, langkah konkret dari melanjutkan perjuangan Presiden Joko Widodo itu seperti apa?
Apa yang akan Anda ubah dari pemerintahan saat ini, jika nanti terpilih wahai Anies Baswedan?
Sedangkan untuk Probowo Subianto, apa yang akan Anda lanjutkan (mengingat Anda bagian dari pemerintah) atau akan Anda ubah dari pemerintahan saat ini (mengingat pemilihmu sebagian dari sisa-sisa residu Pilpres 2019 lalu)?
Pada akhirnya, sebagai rakyat, kita pun pasti bertanya kebaruan apa yang akan Anda bertiga tawarkan, mengingat segala tantangan yang akan lahir dari situasi ketidakpastian global pada waktu-waktu mendatang?