redaksiharian.com – Program Belt On Road Initiative (BRI) atau jalur sutera gagasan China yang awalnya diniatkan untuk membangun proyek investasi kini malah menjadi bumerang bagi China sendiri. China harus merelakan triliunan dolar gara-gara proyek tersebut.

Dilansir dari Asia Sentinel, Jumat (9/6/2023), banyak negara kini menegosiasikan kembali pinjaman mereka atau restrukturisasi utangnya kepada China. Negara-negara itu tidak bisa membayar utangnya kepada China. Akibat hal itu, bank-bank di China harus berputar otak untuk merestrukturisasi piutangnya hingga berujung merugikan negara.

Berdasarkan catatan, BRI merupakan program China yang menawarkan kota di berbagai belahan dunia, khususnya yang menghubungkan Asia hingga Eropa untuk dibangun infrastruktur serta jaringan perdagangan.

Berdasarkan data tahunan Rhodium Group yang berbasis di Amerika Serikat (AS), tingkat negosiasi ulang dan penghapusan utang telah meningkat tajam. Pada 2017-2019, China telah melakukan restrukturisasi bahkan menghapus pinjamannya senilai US$ 17 miliar atau setara dengan Rp 255 triliun (dalam kurs Rp 15.000).

Hal yang sama terjadi pada 2020 hingga Maret 2023 kemarin, tercatat China telah menegosiasikan atau menghapus pinjamannya hingga US$ 78,5 miliar atau setara dengan Rp 1.177 triliun.

Di mana nilai tersebut sebelumnya direncanakan untuk proyek-proyek BRI berupa jalan raya, kereta api, pelabuhan, hingga bandara. Kebijakan yang dilakukan China tersebut adalah sebagai upaya membantu negara-negara tersebut dalam membayar utang negara mereka.

Menurut laporan AidData, sebuah lembaga penelitian di Universitas William & Mary di AS, pada 2000 hingga 2021, China telah memberikan 128 bantuan pinjaman kepada 22 negara, seperti Argentina, Ekuador, Suriname, dan Venezuela di Amerika Latin, Angola, Sudan, Sudan Selatan, Tanzania, dan Kenya di Afrika, Turki, Oman, dan Mesir di Timur Tengah dan Pakistan, Sri Lanka, Mongolia, dan Laos di Asia. Pinjaman ini diperkirakan mencapai US$ 240 miliar atau setara Rp 3.600 triliun.

Tujuan China sendiri yaitu tidak lain tidak bukan untuk memastikan anggota proyek BRI untuk terus bisa membangun proyek-proyek BRI di negara tersebut. Akan tetapi, salah satu negara yang berutang kepada China seperti Sri Lanka, tetap tidak bisa menangani masalah utangnya kepada China.

Hingga akhirnya pada awal kuartal 2023 ini International Monetary Fund atau IMF datang untuk memberi bantuan sebesar US$ 3 miliar atau setara dengan Rp 45 triliun.

Negara-negara yang terjebak utang China di halaman berikutnya.

Begitu juga dengan Zambia sebagai negara tuan rumah terbesar kedua dalam proyek BRI, yang telah berhutang lebih US$ 6 miliar atau setara dengan Rp 90 triliun kepada China. Hingga 2020 Zambia gagal untuk membayar utangnya tersebut. Hingga, Zambia telah menyetujui penawaran China untuk bayar utang melalui jalur kredit lewat 18 pihak bank China.

Negara Afrika lainnya, Ethiopia yang kini masih terus melakukan pembicaraan dengan China untuk restrukturisasi pinjaman. Tercatat dari 2009-2019 Ethiopia telah meminjam US$ 13 miliar atau setara dengan Rp 195 triliun kepada China. Tapi tetap saja Ethiopia gagal dan belum berhasil dalam menangani ekonomi negara mereka dan kabarnya Ethiopia masih meminta bantuan kembali kepada China.

Situasi yang sama terjadi pada Pakistan, Sri Lanka, dan Zambia. Di mana sebagian besar uang yang dipinjamnya kepada China bukan untuk mengembangkan proyek BRI, melainkan untuk memenuhi kebutuhan negaranya seperti kebutuhan listrik, bahan bakar, hingga gaji kepada pegawai negaranya.

Niat membantu negara-negara tersebut, membuat kondisi China semakin memburuk. China dianggap sebagai penyebab utama banyak negara terjebak utang. Karena semakin banyak China memberi bantuan pinjaman kepada negara-negara debitur itu, semakin banyak juga tagihannya dan membuat negara debitur itu sulit dalam membayar utangnya kepada China.

Pakistan berutang lebih dari sepertiga dari total utang luar negerinya ke China. Pada tahun fiskal 2022-23, pembayaran utang luar negeri mencapai 56,4%. Angola, juga telah berutang lebih dari 40% dari total pinjaman luar negerinya. Total negara itu telah meminjam US$ 73 miliar atau setara Rp 1.095 triliun kepada China.

Banyak penelitian yang menilai proyek jalur sutera China yang memberi bantuan kepada beberapa negara, belum dapat membantu membawa negara debitur itu menjadi lebih baik. Malah sebaliknya, negara-negara debitur itu kesulitan dalam membayar utang.