redaksiharian.com – Paul Mackenzie Nthenge adalah seorang mantan sopir taksi yang mengubah profesinya menjadi pemuka agama. Dia didakwa atas perilakunya yang meyakinkan ratusan pengikut untuk membuat diri mereka kelaparan sampai meninggal dengan tujuan untuk bertemu dengan Yesus.

Beberapa bulan lalu, Kenya diguncang kasus mengerikan yang didalangi Paul Mackenzie Nthenge, pemimpin sekte dengan lebih dari 240 pengikut setianya meninggal karena kelaparan.

Nthenge, seorang mantan telepenginjilan yang bertanggung jawab atas gerakan Good News Internatiol Church, yang secara resmi ditutup pada tahun 2019, diyakini melanjutkan kegiatan keagamaannya setelah pindah ke desa terpencil Shakahola.

Dia menyebarkan keyakinan eksremisnya dan mengekploitasi ketakukan orang akan hal-hal yang tidak mereka ketahui. Bukti menunjukkan bahwa dia mampu meyakinkan para pengikutnya untuk membuat diri mereka dan orang yang mereka cintai kelaparan (termasuk anak-anak), merupakan cara yang lebih cepat untuk mencapai surga dan bertemu dengan tuhan mereka, Yesus Kristus.

Nthenge pindah ke Malindi, sekitar 70 km dari Shakahola setelah menutup gerejanya. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di desa yang dilanda kekeringan, kemudian menyebarkan agamanya yang sesat kepada penduduk setempat. Namun, pihak berwenang baru mulai menyelediki aktivitasnya di daerah tersebut setelah menerima laporan anonim tentang dua anak yang mati kelaparan oleh orang tua mereka sendiri, di bawah pengaruh pemuka agama.

Kedua anak tersebut ditemukan terkubur di tanah luas milik Nthenge di hutan Shakahola. Temuan ini hanyalah sedikit dari sekian banyak kasus yang mencuat, karena polisi mendapatkan informasi bahwa ada beberapa kuburan massal di daerah yang penuh dengan pengikut naif pendeta.

Pada bulan Maret, pemimpin agama yang kontoversial itu ditangkap bersama dengan kedua orangtua sang anak, tetapi selama dua bulan berikutnya, para penyelidik menemukan total ada 241 mayat yang bertubuh kurus kering di tanah Nthenge.

“Kami bahkan belum mengemukakan kasus ini dengan jelas dan kemungkinan kami akan mendapatkan lebih banyak mayat pada akhir penyelidikan ini,” kata seorang sumber dalam penyelidikan kepada Agence France Presse bulan lalu.

Mereka terbukti benar, karena saat itu mereka baru ditemukan 100 jenazah.

Pada bulan yang sama, ketika penyelidikan dimulai, Nthenge yang tidak merasa bersalah mengatakan kepada pihak berwenang bahwa dia percaya memiliki mukjizat nabi dan dia telah melihat wujud Yesus. Dengan klaim yang menggelikan itulah dia meyakinkan pengikut yang memang mudah tertipu itu untuk membuat mereka melakukan hal sesat tersebut, sebagai cara untuk mencapai surga lebih cepat.

Nthenge menyangkal telah menyebarkan keyakinanya setelah penutupan Gereja Internasional Good News pada tahun 2019, dia bersikeras bahwa dia tidak memaksa siapa pun untuk mengikuti keyakinannya. Namun, mantan anggota gerejanya mengatakan kepada penyelidik bahwa dia terus menyebarkan keyakinan ekstremnya bahkan setelah penutupan resmi gereja, dia mengintruksikan kepada jemaahnya untuk berhenti dari pekerjaan mereka untuk menghadiri khotbahnya secara penuh dan jangan mencari bantuan medis saat sakit.

Awal bulan ini, pihak berwenang Kenya membuat penemuan mengerikan lainnya saat menggali mayat dari kuburan massal Shakahola. Ketika sebagaian besar tubuh yang ditemukan bertubuh kurus kering, menunjukkan kematian karena kelaparan, yang lainnya terlihat jelas menderita trauma massal di kepala atau leher. Belakangan ini terungkap bahwa beberapa korban kehilangan organ, yang menunjukan bahwa Mackenzie Nthenge dan rekan kerjanya juga melakukan perdagangan organ manusia.

Prof. Kithure Kindiki, Menteri Dalam Negeri Kenyamendapat informasi bahwa pendeta jahat itu telah bersekongkol dengan geng bersenjata untuk membunuh umatnya yang tidak mati-mati saat membuat diri mereka kelaparan dan yang membatalkan puasa mereka, dengan menggunakan senjata tumpul dan kabel untuk pencekikan.

‘Pembantaian di hutan Shakahola’, sebutan genosida Paul Mackenzie Nthenge yang menjadi salah satu peristiwa paling mengejutkan dan tragis dalam sejarah yang mengguncang Kenya. (Sarah Syifa Aisyah Khansa)***