redaksiharian.com – Pelukis Ramadhyan Putri Pertiwi mengadakan pameran tunggal bertajuk Interlude 2: In The Moment.
Bertempat di Bentara Budaya Yogyakarta , pameran tunggal ini sudah dibuka sejak Sabtu (10/6/2023) lalu.
Pada pameran tunggal kali ini, Rama kembali membawa konsep yang unik dan mencoba merepresentasikan interlude dalam bentuk visual karya lukis dengan pengkajian seputar persoalan kehidupan manusia.
Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Interlude 2: In The Moment adalah lanjutan dari pameran tunggal pertama lulusan Institut Seni Yogyakarta yang dihelat pada 2022 lalu dengan judul Interlude.
Berlangsung hingga 17 Juni mendatang, Interlude 2: In The Moment mempersembahkan sekitar 15 karya dengan media cat akrilik di atas kanvas dan ditulis oleh Karen Hardini.
Dalam musik, interlude merupakan periode jeda waktu, yang diisi instrumen musik yang menyambungkan verse dengan verse atau verse dengan chorus.
Periode jeda ini menciptakan ritme bagi komposisi musik, menghasilkan harmoni, menonjolkan titik pusat perhatian atau pendengaran, serta menciptakan dinamika yang menyenangkan.
Sebagai manusia, kita tentu mendambakan kehidupan yang selalu menyenangkan. Namun, sama seperti alunan musik, kita juga membutuhkan jeda dalam hidup pada waktu tertentu.
Subjudul In The Moment dimaknai sebagai kondisi pikiran yang fokus dan khusus pada momen saat ini.
Banyak orang mengatakan living in the moment atau hidup di momen saat ini, namun pada kenyataannya itu tidaklah mudah.
Pameran Interlude 2: In The Moment bisa dikatakan sebagai momen untuk sadar akan kenyataan dan menghadapinya dengan penuh keyakinan.
Dalam kehidupan, terdapat berbagai masalah. Langkah paling awal menghadapinya adalah menyadari kenyataan tersebut, bukan lari dari masalah atau berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa.
Periode jeda merupakan salah satu fase terpenting dalam hidup karena berkaitan dengan kesanggupan seseorang menghadapi kenyataan.
Untuk menghadapi dan menyadari kenyataan, setiap individu membutuhkan jiwa dan mental yang kuat.
Kita harus berani untuk berteriak tidak, jika tidak ingin melakukan sesuatu, sebab orang lain tidak akan melakukannya untuk kita.
Pada salah satu karya berjudul Twigs, Rama menggambarkan abstraksi ranting-ranting pohon yang ditumpuk dan terjalin dengan buah, daun, dan bunga.
Jalinan antara tiap unsur pohon itu dimaknai sebagai kerja sama dari semua bagian pohon untuk hidup.
Makna karya itu adalah, kita sebagai manusia harus menggunakan seluruh fisik dan emosi, dan mengerahkan seluruh jiwa dan raga untuk bertahan hidup.
Manusia tidak hanya berjuang untuk hidup bahagia, namun juga harus menerima segala kesedihan, kemarahan dan kesalahan sebagai bagian dari diri sendiri.
Kita bukan hanya menjadi pribadi yang siap menerima dan berbuat baik, tetapi juga perlu merangkul sisi jahat, kekerasan dan amarah, sebagai bagian tidak terpisahkan demi mencapai satu tujuan: hidup.
Rama menggunakan flora sebagai metafora kehidupan manusia.
Ia merasa, banyak hal yang dapat dibandingkan antara flora dan manusia, seperti siklus kehidupan, lahir, tumbuh, sakit, sembuh, bertambah besar, layu, sehat, tua dan mati.