redaksiharian.com – Jakarta, CNBC Indonesia – Bursa Asia-Pasifik kembali ditutup beragam pada perdagangan Kamis (8/6/2023), di mana investor cenderung merespons bervariasi terkait data ekonomi Jepang dan China yang juga cenderung beragam.
Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup naik 0,1% ke posisi 19.271,221, Shanghai Composite China menguat 0,42% ke 3.211,25, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir terapresiasi 0,7% menjadi 6.666,33.
Sedangkan untuk indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah 0,84% ke 31.646,301, Straits Times Singapura turun tipis 0,03% ke 3.178,53, ASX 200 Australia terkoreksi 0,26% ke 7.099,7, dan KOSPI Korea Selatan terpangkas 0,18% menjadi 2.610,85.
Dari Jepang, data final dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2023 tumbuh lebih baik dari data perkiraan awal.
Kantor Kabinet melaporkan produk domestik bruto (PDB) Jepang pembacaan final pada kuartal I-2023 tumbuh 0,7% secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq), berdasarkan penyesuaian musiman, tidak termasuk efek perubahan harga, naik dari 0,4% yang dilaporkan pada Mei lalu.
Secara tahunan (year-on-year/yoy), ekonomi Negeri Sakura pada kuartal I-2023 tumbuh 2,7%, jauh lebih baik dari angka awal yang tumbuh 1,6%.
Data baru menunjukkan ekonomi Jepang melanjutkan pemulihan yang stabil pasca pandemi Covid-19. PDB riil untuk tahun fiskal yang berakhir pada Maret lalu meningkat 1,4% pada tahun tersebut, menandai pertumbuhan positif tahun kedua berturut-turut.
Sementara itu dari China, perekonomiannya kembali lesu, di mana ekspor Negeri Tirai Bambu turun 7,5% (yoy) sepanjang Mei lalu. Senada dengan ekspor, realisasi impor juga turun 4,5% (yoy).
Hasil tersebut membuahkan tanda tanya besar terkait pemulihan ekonomi negara tersebut yang belum lama ini mencabut kontrol ketat terkait Covid-19. Pasalnya, lemahnya kinerja perdagangan juga menggambarkan permintaan global yang melemah di tengah tekanan suku bunga yang masih tinggi.
Sementara itu, surplus perdagangan global China menyempit sebesar 16,1% menjadi US$ 65,8 miliar pada Mei.
Pelemahan perdagangan menambah tekanan ke bawah pada ekonomi terbesar kedua di dunia itu menyusul aktivitas pabrik dan konsumen yang lesu serta lonjakan pengangguran di kalangan kaum muda.
Di lain sisi, investor juga masih menimbang sikap bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) terkait kebijakan suku bunga acuan di pertemuan berikutnya.
Pembahasan terkait suku bunga The Fed masih menjadi topik utama yang dicermati pasar hingga hari ini.
Inflasi yang masih mendarah daging membuat pelaku pasar pesimis bahwa The Fed bakal menurunkan suku bunganya pada pertemuan mendatang.
Ekonomi AS masih saja mengalami tekanan. Setelah lolos dari default alias gagal bayar, Negeri Paman Sam dihadapkan dengan inflasi tinggi. Kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih kuat dengan prospek gaji yang kompetitif.
Namun, gaji yang kompetitif tentu berhubungan dengan daya beli masyarakat yang akan tetap terjaga, ini juga menjadi indikasi bahwa ekonomi AS masih cukup bertahan di tengah risiko resesi yang tinggi.
Dari sisi inflasi Amerika Serikat (AS) pada April 2023 tercatat sebesar 4,9% (yoy) atau berada di bawah ekspektasi. Indeks harga konsumen itu pun menjadi yang terendah sejak April 2021.
Perlu diketahui inflasi AS telah turun 10 bulan berturut-turut sejak mencapai 9,1% pada Juni 2022. Namun tetap saja penurunan inflasi saat ini sepertinya belum membuat puas hati The Fed karena target penurunan inflasi adalah 2%. Tentu saja, angka ini masih jauh dari target.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat probabilitas suku bunga bunga dinaikkan hanya 20%, sisanya yakin akan tetap sebesar 5% – 5,25%. Sehingga jika The Fed kembali menaikkan suku bunga, pasar finansial dunia tentunya bisa gonjang-ganjing lagi.
CNBC INDONESIA RESEARCH