redaksiharian.com –
Memasuki milenium baru, banyak pelari menginginkan inovasi. Pasalnya, saat itu sepatu favorit mereka hanya dipoles ulang dan sedikit diperbaiki tanpa perkembangan signifikan.
Namun kemudian, datanglah gerakan untuk tidak mengggunakan sepatu (barefoot movement).
Gerakan ini dipicu oleh temuan studi yang menyatakan bahwa pronasi (pergerakan kaki ke dalam saat melangkah) tidak terkait dengan cedera potensial.
Juga, kaum “minimalis” beranggapan, olahraga lari adalah kegiatan alami yang tidak memerlukan dukungan tambahan.
Akibatnya, beberapa merek mikro mulai merilis sepatu yang hanya menawarkan perlindungan sol karet tanpa adanya geometri atau bantalan tambahan.
Selain itu, gerakan tanpa sepatu membuat merek-merek besar berusaha keras untuk ikut serta dalam tren minimalis yang sedang populer.
Era minimalis tidak hanya menjadi tren unik dalam olahraga lari di tahun 2000-an, tetapi juga berpengaruh penting terhadap cara masyarakat melihat perlengkapan olahraga saat ini.
Perubahan ini mengarah pada pendekatan desain sepatu yang berani, bagian forefoot yang lebar, geometri midsole yang menarik, dan banyak lagi.
Vibram Five Fingers
Five Fingers dari Vibram terlihat seperti kaus kaki yang hanya memberikan perlindungan minimal, sesuai dengan tren minimalis saat itu.
Desain ini awalnya ditujukan untuk digunakan di air. Namun, Five Fingers juga sejalan dengan filosofi gerakan tanpa sepatu karena memberikan kontak ke tanah secara tepat sembari melindungi kaki dari berbagai medan.
Masih ada banyak perdebatan mengenai konsep minimalis dan apakah manfaatnya sepadan atau tidak bagi seorang atlet.
Tetapi, inovasi dalam bentuk sepatu yang mudah dikenali ini tidak dapat diabaikan dalam perkembangan sepatu lari.
Nike Free 5.0
Bermodalkan data dari para atlet di Stanford University, Nike mendesain Free 5.0, sepatu minimalis yang menawarkan manfaat pada langkah kaki tanpa tampilan berlebihan.
Free 5.0 juga menjadi pilihan sepatu yang bagus bagi pemula yang ingin mencoba sensasi berjalan tanpa alas kaki, karena hanya menyediakan sedikit bantalan di bagian bawah.
Saucony Trigon
Trigon diluncurkan Saucony pada tahun 2003. Meskipun tidak sesuai dengan gaya minimalis, sepatu ini memiliki banyak inovasi dalam hal personalisasi.
“Kami mengambil inspirasi dari Goldilocks dan membuat versi dengan Light Cushioning yang lebih lembut, versi standar Responsive Cushioning, dan versi lebih keras bagi mereka yang lebih suka perjalanan keras atau ingin memperpanjang umur sepatu.”
Demikian disampaikan Brian Moor, Wakil Presiden Senior Saucony untuk apparel, sepatu dan aksesori global.
Rangkaian sepatu ini memungkinkan personalisasi yang mudah dan menghasilkan dua siluet paling populer dari Saucony.
“Ketika dukungan penyangga menjadi tren, konsep bantalan yang dapat disesuaikan berkembang menjadi sepatu Ride, sementara model pendampingnya adalah Guide,” jelas Moore.
Era 2010-an
Selain era 1980-an, era 2010-an mungkin adalah dekade paling inovatif dalam sepatu lari.
Banyak terobosan baru dalam bahan, desain, biomekanik yang lebih baik, dan lainnya.
Sepatu lari menjadi lebih ringan, lebih nyaman, dan disesuaikan dengan berbagai jenis lari, seperti trail running.
Pada 2010-an, juga terjadi perkembangan paling besar yang mungkin bisa dianggap kontroversial dalam lomba lari dengan diperkenalkannya “super shoes” atau sepatu lari super.
Super shoes menggunakan geometri unik, bahan ringan, dan pelat karbon untuk meningkatkan dorongan ke depan.
Sepatu ini mendapatkan perhatian besar sepanjang dekade ini karena berhasil memecahkan rekor-rekor maraton dan dipakai banyak atlet terkenal.
Teknologi dan ilmu pengetahuan benar-benar berkembang pesat pada periode ini.
Hoka Bondi B
Bondi B mewakili semua pengetahuan Hoka akan lari lintas alam (trail running), terutama dalam menciptakan midsole yang memberikan gerakan lebih efisien dan perlindungan kaki yang optimal melalui bantalan.
Peluncuran Hoka Bondi B terjadi pada saat barefoot movement sedang populer, dan tampaknya sepatu ini memang disengaja untuk menyaingi gerakan tersebut. Namun faktanya tidaklah demikian.
“Motivasi di balik gerakan minimalis sebenarnya masih berakar pada kelahiran Hoka,” catat Colin Ingram, Wakil Presiden Produk Hoka.
“Idenya adalah bagaimana kita dapat membiarkan kaki terlindungi, nyaman, dan mudah bergerak.”
Adidas Energy Boost
Sejak Brooks Villanova diperkenalkan pada 1970-an, teknologi EVA menjadi standar untuk midsole sepatu lari hingga tahun 2010-an.
Meskipun memberikan bantalan dan kenyamanan di bawah kaki, merek-merek sepatu menghadapi tantangan dalam menciptakan keseimbangan antara kenyamanan dan responsivitas.
Adidas lalu hadir dengan teknologi Boost yang mengubah paradigma dalam manufaktur sepatu.
“Boost benar-benar merupakan inovasi pertama yang menggabungkan kedua hal ini,” kata Moritz Hoellmueller, wakil presiden tim desain lari Adidas.
“Dengan teknologi ini, kita dapat merasakan respons yang baik sekaligus kenyamanan di bawah kaki. Ini merupakan inovasi luar biasa bagi kami saat itu, dan hingga sekarang tetap menjadi salah satu inovasi terbaik kami.”
Selain midsole, Adidas Energy Boost juga mendapat pujian tinggi karena bagian atas yang pas seperti sarung tangan, outsole tangguh, dan perbedaan tinggi antara tumit dan jari kaki sebesar 10,5 mm.
Teknologi Boost tetap digunakan dalam berbagai jenis sepatu Adidas hingga saat ini, dan memicu persaingan antar merek untuk mengembangkan komponen midsole yang memberikan bantalan sekaligus responsif.
Nike Flyknit Racer
Komponen bagian bawah sepatu lari menjadi fokus utama. Namun tidak banyak perhatian yang diberikan pada bagian atas, kecuali peralihan menuju material tekstil berbasis kain yang lebih banyak pada 1970-an dan 1980-an.
Semua itu berubah ketika Nike memperkenalkan Nike Flyknit Racer pada 2012.
Sepatu ini mengubah paradigma dengan bagian atas yang terbuat dari serat dalam satu potongan.
Karena desainnya yang mirip dengan kaus kaki dan berbobot sangat ringan, Flyknit Racer segera menarik perhatian.
Awalnya, teknologi Flyknit ditujukan untuk pelari kompetitif. Hal itu terbukti dari beberapa atlet AS yang memakai Flyknit Racers pada Olimpiade London 2012.
Sejak saat itu, teknologi ini telah menyebar ke berbagai sektor sepatu, termasuk sepak bola, basket, dan sepatu untuk latihan sehari-hari.
Nike Vaporfly 4%
Di era ini, ada satu siluet yang mencuat dan mengubah definisi “performa maksimum” dalam dunia lari: Nike Vaporfly 4%.
Sepatu ini merevolusi apa yang dapat dicapai oleh pelari jarak jauh berkat pelat serat karbon terintegrasi dan busa ZoomX baru.
Nike memiliki sebuah proyek bernama Breaking2, yang bertujuan membantu pelari menyelesaikan maraton dalam waktu kurang dari dua jam, dan sepatu Vaporfly 4% menjadi tonggaknya.
Vaporfly 4% bisa dibilang “turunan langsung” dari Nike Air Zoom Alphafly NEXT%, sepatu yang dipakai Eliud Kipchoge untuk memecahkan rekor maraton dalam waktu kurang dari dua jam pada 2019.
Penampilan Kipchoge dengan purwarupa Nike Air Zoom Alphafly NEXT% menyebabkan World Athletics melarang penggunaan sepatu lari dengan sol tebal lebih dari 40 milimeter atau memiliki lebih dari satu pelat karbon.
Era 2020-an
Tahun 2020-an memberikan gambaran jelas mengenai inovasi menarik yang akan dihadirkan di masa mendatang.
Masing-masing merek terus mencoba menggunakan busa dan bahan yang lebih ringan untuk menciptakan hubungan yang sempurna antara kaki dan sepatu, sembari mempertimbangkan biaya yang terjangkau.
Selain itu, beberapa merek juga sedang menggunakan prosedur manufaktur canggih agar bisa menghasilkan desain yang lebih kreatif.
Meskipun biomekanika dan kenyamanan di bagian bawah tetap menjadi fokus, sulit untuk memprediksi seberapa jauh perkembangan desain sepatu lari nantinya.
Setidaknya, ada beberapa model yang bisa menggambarkan perkembangan sepatu lari di masa depan.
Adidas 4DFWD
Dalam hal penampilan, Adidas 4DFWD terlihat sangat inovatif berkat konstruksi midsole yang dicetak dalam bentuk 3D.
Namun, struktur jala berbentuk simpul kupu-kupu tidak hanya dibuat untuk daya tarik visual.
Desain ini sebenarnya bertujuan agar meningkatkan dorongan dengan penekanan secara horizontal, bukan vertikal.
Pengembangan ini didasarkan pada analisis data kinerja atlet selama 18 tahun dan lebih dari 5 juta variasi midsole 3D.
Adidas 4DFWD diklaim dapat membantu mengurangi dampak yang dirasakan pada tulang dan sendi, sambil memberikan sensasi yang unik di bawah kaki.
Hoka Tecton X
Kategori “super shoe” dan penggunaan pelat karbon pada sepatu lari premium memiliki akar dalam balapan di jalan raya (road racing).
Namun, keinginan untuk berlari cepat menarik minat semua atlet, sehingga wajar jika teknologi tersebut diuji coba dalam olahraga lain.
Banyak merek mulai memasukkan pelat karbon ke dalam sepatu trail running. Sayangnya, penggunaan teknologi tersebut terhambat oleh medan yang tidak rata.
Untuk menjawab hal itu, Hoka mengusung Tecton X pada 2022 dengan sistem suspensi independen yang unik menggunakan dua plat karbon yang menawarkan stabilitas dan responsivitas bagi pelari.
“Konsepnya adalah menciptakan dua pelat yang memungkinkan beban dari depan ke belakang dan memberikan dorongan, tetapi juga memiliki kemampuan variasi dari sisi ke sisi untuk menyerap medan di bawah kaki,” jelas Ingram.
Saucony Endorphin Elite
Saucony Endorphin Elite dengan cepat mendapatkan reputasi sebagai salah satu sepatu lari maraton terbaik berkat konstruksi busa yang unik dan geometri premium.
Sepatu ini mewakili hasil pembelajaran Saucony terhadap pasar selama bertahun-tahun, dengan menggunakan busa PWRRUN HG.
“Bahan dan cara pembuatan busa yang kami gunakan sangat berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Pengenalan OBC, TPU, dan PEBA telah mengubah segalanya,” kata Andrea Paulson, Wakil Presiden Teknik Saucony.
“Kepadatan dan energi yang dikembalikan adalah faktor penting dalam pengujian. Sederhananya, kami bisa mendapatkan busa yang lebih ringan yang memberikan energi lebih banyak.”
“Kami sudah mencapai atau mendekati batas atas dalam pengembalian energi, namun saya yakin masih ada ruang untuk membuatnya lebih ringan.”