redaksiharian.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menggodok rencana kenaikan modal minimum untuk perusahaan asuransi, reasuransi, asuransi syariah, dan reasuransi syariah. Atas kondisi ini, para pengusaha asuransi tengah bersiap mengambil ancang-ancang.
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan mengatakan berdasarkan hasil pertemuan yang telah dilangsungkannya bersama para anggota, pada dasarnya tidak ada yang menolak rencana kenaikan tersebut. Meski demikian, pihaknya meminta agar regulator mempertimbangkan beberapa hal.
“Intinya tidak menolak namun dalam satu kesimpulan, concern waktu dan nilai besaran peningkatannya di berapa,” katanya, dalam Konferensi Pers Data Asuransi Umum Triwulan I Tahun 2023 di Gedung Permata Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (30/5/2023).
Budi mengatakan, saat ini industri asuransi sendiri tengah menghadapi sejumlah tantangan. Dalam hal ini, kondisi para pelaku usaha tidak sepenuhnya sehat. Hal ini membuat pihaknya saat ini lebih memprioritaskan kepada penyehatan keuangan para anggota asosiasi.
“Bagaimana mengembalikan hasil underwriting untuk bisa menutup biaya operasional atau beban lain. Karena dari laporan keuangan 3-5 tahun terakhir laba kinerja investasi umum ditopang hasil investasi,” terangnya.
Selain itu, Budi juga mengusulkan agar sekiranya pemerintah bisa melakukan relaksasi terlebih dulu terkait rencana kenaikan modal minimum tersebut. Pasalnya dalam waktu dekat, industri juga tenagh mempersiapkan implementasi PSAK-74 yang merupakan adopsi dari IFRS-17. Adapun implementasinya juga membutuhkan modal yang tidak sedikit.
“AAUI dalam usulannya nanti minta relaksasi apakah wacana ini kalau memang akan dijadikan satu POJK bisa diimplementasi setelah melihat implementasi PSAK-74 atau IFRS-17. Ini satu mata rantai yang tak terpisahkan,” ujarnya.
Selain itu, Budi berpandangan bahwa peningkatan modal sendiri bukan merupakan satu-satunya indikator yang dapat menyatakan apakah perusahaan asuransi terbilang sehat atau menjamin pertumbuhan signifikan.
“Kami dari asuransi pada waktu mendengar tidak ada satupun menolak apa yang diusulkan. Namun kami akan segera meng-counter apa yang disampaikan regulator. Pertama intensinya apa sih, kenapa sampai muncul angka-angka yang dimaksud, dan juga kok relaksasi waktunya mepet,” kata Budi.
Berdasarkan data AAUI sendiri, terpantau terjadi perubahan data jumlah perusahaan berdasarkan ekuitas dalam rentang 2021 s.d 2022. Untuk data tahun 2021 sendiri berasal dari laporan publikasi dari sebanyak 71 perusahaan. Sementara itu, untuk data tahun 2022 berasal dari total 63 perusahaan.
Pada tahun 2021 perusahaan yang memiliki ekuitas di bawah Rp 150 miliar ada sebanyak 5 asuransi dan 1 reasuransi. Angka tersebut berubah menjadi 9 asuransi di tahun 2022. Sementara untuk ekuitas yang berada di rentang Rp 150-500 miliar, ada 31 perusahaan ada 2021 dan berubah menjadi 29 asuransi di tahun 2022.
Kemudian untuk rentang ekuitas di atas Rp 500 miliar-Rp 1 triliun, pada 2021 ada sebanyak 11 asuransi dan 2 reasuransi. Angka ini berubah menjadi 8 asuransi dan 1 reasuransi di tahun 2022. Sedangkan ekuitas di atas Rp1 triliun di tahun 2022 asa 17 asuransi dan 2 reasuransi.
Sebagai tambahan informasi, sebelumnya beredar wacana yang menyebut OJk akan menetapkan modal minimum baru pada 2026. modal minimum perusahaan asuransi konvensional akan ditetapkan menjadi Rp 500 miliar. Selanjutnya, modal minimumnya akan didorong mencapai Rp 1 triliun pada 2028.
Sementara untuk perusahaan reasuransi konvensional, modal minimumnya akan ditingkatkan dari Rp 200 miliar menjadi Rp 1 triliun pada 2026. Selanjutnya, modal minimum akan ditingkatkan menjadi Rp 2 triliun pada 2028. Selanjutnya untuk modal minimum perusahaan asuransi syariah akan ditingkatkan dari Rp 50 miliar menjadi Rp 250 miliar pada 2026.
Tidak hanya itu, modal minimum perusahaan asuransi syariah akan didorong menjadi Rp 500 miliar pada 2028. Kemudian, modal minimum perusahaan reasuransi syariah akan ditingkatkan dari Rp 100 miliar menjadi Rp 500 miliar pada 2026. Lalu, modal minimumnya akan dinaikkan jadi Rp 1 triliun pada 2028.