redaksiharian.com – terbesit di benak Anda seperti apa pertarungan geopolitik di luar angkasa dan bagaimana perebutan pengaruh antaraktornya berlangsung?

Konflik politik ini tentunya tidak melibatkan pertarungan antara mahluk-mahluk asing (alien) dengan umat manusia layaknya di film fiksi ilmiah. Akan tetapi, hal ini faktanya terjadi, dan kepentigan yang ingin diraih antaraktornya pun sangat jelas.

Layaknya bumi, luar angkasa tak luput dari perebutan pengaruh dan kekuasaan negara-negara adidaya.

Perkembangan teknologi, diiringi dengan derasnya arus globalisasi, memunculkan determinan baru dalam politik internasional: aktivitas terkait penguasaan ruang angkasa, termasuk di dalamnya aspek kebijakan dan strategi, penguasaan teknologi, serta pemanfaatannya oleh militer suatu negara.

Penguasaan ruang angkasa saat ini dianggap memiliki nilai lebih dibanding penguasaan wilayah teritorial lainnya seperti darat, laut, dan udara.

Hal ini karena penguasaan wilayah ketinggian ataupun dataran yang lebih tinggi memberikan jaminan pencegahan dan kewaspadaan akan munculnya berbagai potensi ancaman, serta meningkatkan daya jangkau pemantauan teritorial menjadi lebih luas.

Diiringi dengan meningkatnya kapabilitas teknologi antariksa oleh berbagai negara, fenomena perebutan pengaruh di luar angkasa atau “space race”, menandai adanya perubahan orientasi kepentingan eksplorasi yang semula bersifat mendukung riset dan damai, menjadi bagian dari kekuatan militer dan “instrument of power”.

Eksplorasi ruang angkasa saat ini telah menjadi suatu dimensi aktivitas strategis sejak periode perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet, di mana persaingan antariksa juga turut dilakukan dengan dimotori oleh persaingan ideologi, politik, serta pertahanan dan keamanan, layaknya perlombaan senjata nuklir.

Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet akibat kekalahannya dalam perang dingin, Amerika Serikat berhasil menjadi aktor negara yang dominan, serta menjadi “leading power” di sektor keantariksaan hingga saat ini.

Konsep perebutan pengaruh di sektor keantariksaan inilah yang kini populer dengan sebutan astropolitik , dan terminologi ini seakan menjadi pelengkap bagi perkembangan ilmu sosial, khususnya di bidang geopolitik.

Secara komprehensif, konsep ini membahas mengenai hubungan antara “state power” dengan kemampuan negara dalam mengontrol antariksa demi kepentingan dominasi.

Astropolitik atau politik keantariksaan merupakan bagian komplementer dari ilmu geopolitik, yang membahas tentang hubungan antara wilayah keantariksaan dengan teknologi, serta pengembangannya terhadap berbagai kebijakan politik, militer, maupun strategi.

Everett Dolman dalam buku “Astropolitik: Classical Geopolitics in the Space Age”, menjabarkan bahwa astropolitik adalah visi realis dari munculnya kompetisi berbagai negara terkait kebijakan antariksa, serta pengembangan dan evolusi rezim internasional tentang keterlibatan manusia di ruang angkasa.

Dolman juga membagi wilayah antariksa kedalam empat kategori. Pertama adalah apa yang ia sebut sebagai Terra, bagian bumi dan jangkauan ketinggian di atasnya hingga pesawat terbang dapat mengorbit bumi dengan sendirinya tanpa adanya dorongan dari mesin.

Kedua adalah Earth Space, merupakan batas antara ketinggian orbit terendah dengan orbit geosinkron. Di ketinggian orbit geosinkron ini, kecepatan orbit akan sama dengan kecepatan rotasi bumi.

Ketiga adalah Lunar Space, yaitu di antara orbit geosinkron dengan orbit bulan.

Keempat adalah Solar Space, mencakup seluruh ruang di sistem tata surya melebihi ketinggian orbit bulan.

Dalam beberapa dekade kedepan, Earth Space akan menjadi wilayah antariksa yang paling vital di antara yang lainnya, dikarenakan di ruang inilah satelit komunikasi dan satelit militer berbagai negara beroperasi.

Di wilayah antariksa ini jugalah berbagai pesawat luar angkasa yang akan melakukan perjalanan menuju ke bulan melakukan refueling.

Sehingga, kontrol negara atas ruang antariksa ini dapat membuat negara tersebut seolah-olah sebagai “gatekeeper” bagi pelaku perjalanan luar angkasa demi menjangkau jarak yang lebih jauh.

Tim Marshall, dalam bukunya berjudul “The Power of Geography: Ten Maps that Reveal the Future of Our World”, mengemukakan bahwa setidaknya terdapat sepuluh wilayah di dunia yang akan menjadi bagian dari penentu arah rivalitas negara-negara adidaya masa depan.

Secara mengejutkan, meskipun sembilan dari sepuluh wilayah tersebut berada di planet bumi, ia menyebut bahwa luar angkasa akan menjadi domain ke sepuluh sebagai penentu arah rivalitas geopolitik masa depan.

Hal ini didasarkan pada semakin intensnya perkembangan “space race” yang dilakukan oleh negara-negara maju saat ini, hingga memunculkan rivalitas seperti yang terjadi pada masa perang dingin.

Pada 2020 misalnya, perjanjian Artemis Accord yang berisi berbagai kesepakatan dan peraturan bagi pelaksanaan eksplorasi serta ekstraksi sumber daya alam yang ada di bulan dilakukan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Emirat Arab, Inggris, Italia, Kanada, Australia, dan Luxembourg.

Perjanjian yang ditandatangani pada 13 Oktober 2020 tersebut dalam perkembangannya juga diikuti oleh negara-negara sekutu Amerika Serikat lainnya, dengan tujuan meraih ambisi mendaratkan astronot wanita pertama sekaligus manusia ke-13 di bulan pada 2024.

Rencananya, aksi monumental tersebut juga dibarengi bersama dengan pendaratan salah seorang astronot pria berkulit hitam pertama di bulan, dan menjadikannya sebagai simbol inklusivitas bagi penjelajah luar angkasa yang notabene didominasi oleh orang-orang dengan ras kulit putih.

Semua ini hanyalah awal dari proyek besar dibuatnya markas luar angkasa di bulan pada 2028, demi kepentingan ekstraksi sumber dayanya dan penelitian.

Sayangnya, meskipun memiliki kapabilitas antariksa yang juga memadai, Rusia dan China tidak ikut ambil bagian dalam perjanjian Artemis Accord.

Layaknya negara-negara maju lainnya, Rusia dan China sebenarnya tertarik dengan ide-ide eksplorasi luar angkasa. Akan tetapi, meskipun bisa saja mereka ikut berpartisipasi, kedua negara tersebut memiliki kemungkinan untuk tidak diikutsertakan di berbagai aktivitasnya.

Mengapa demikian? Fakta menunjukkan bahwa hal ini diakibatkan dari adanya intervensi politik Amerika Serikat di dalamnya.

Sebagai contoh, meskipun Rusia menjadi partner NASA dalam pembangunan stasiun luar angkasa internasional (ISS), U.S Space Force menuduh Space Agency Rusia melakukan tracking terhadap satelit mata-mata AS.

Akibatnya, AS menganggap hal tersebut sebagai bagian dari potensi ancaman. China juga tidak dapat menjadi bagian dari perjanjian Artemis Accord dikarenakan kongres Amerika Serikat memutuskan untuk melarang NASA untuk bekerjasama dengan pemerintahan Beijing.

Meskipun Rusia dan China juga memiliki rencananya sendiri terkait eksplorasi antariksa, khususnya di bulan, fenomena ini tentunya tidak serta merta membuat kedua negara tersebut akan tunduk pada aturan yang dibuat berdasarkan Artemis Accords.

Selain kompleksnya dimensi pertahanan dari politik antariksa, keterlibatan aktor non-negara di dalamnya memberikan keunikan tersendiri dalam perkembangan dunia astropolitik.

Elon Musk, pendiri raksasa otomotif Tesla sekaligus figur yang sangat fanatik dengan visinya membawa manusia ke Mars, akhirnya mendirikan perusahaan SpaceX.

Selama beberapa tahun belakangan, SpaceX berperan dalam membantu mengirimkan kargo bantuan menuju International Space Station (ISS), dan pada 2020 juga turut membantu mengirimkan dua orang astronot NASA ke stasiun tersebut.

Elon Musk akhirnya menemukan cara bagaimana mengurangi biaya perjalanan ke luar angkasa dengan menggunakan teknologi reusable rockets.

Musk dan SpaceX adalah salah satu contoh bagaimana aktor swasta dapat berperan dalam pengembangan teknologi dan politik antariksa melebihi peran aktor negara.

Setidaknya hal ini dibuktikan dengan kolaborasi yang terjadi antara NASA dengan SpaceX, dan dalam perkembangannya hal ini tentu juga dapat berpotensi menimbulkan permasalahan ataupun konflik strategis di ruang lingkup antariksa.

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat pola yang menarik dalam berbagai fenomena astropolitik di dunia saat ini: setiap penemuan baru, layaknya penemuan wilayah daratan dan lautan baru di bumi pada zaman sejarah, akan selalu berakhir dengan munculnya kompetisi serta perebutan pengaruh.

Pemenangnya akan menentukan seperti apa aturan yang berlaku serta seperti apa garis batas kekuasaan di wilayah tersebut terbentuk.

Pola sejarah yang terjadi di bumi, tenyata juga dapat terjadi di wilayah antariksa, di mana pemenang dari “struggle of power” dapat menentukan arah berkembangnya peradaban dan mengambil keuntungan di dalamnya.

Seperti yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya, agaknya fenomena astropolitik saat ini relevan dengan peribahasa sejarah populer: “history is written by the victors”.

Dalam hal ini, sejarah antariksa masa depan, tentunya hanya akan diwarnai oleh negara atau aktor-aktor pemenangnya saja.