redaksiharian.com – Sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang cawe-cawe dalam peta politik menjelang pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang menuai berbagai tanggapan.

Presiden disebut mengakui dia melakukan cawe-cawe dengan alasan demi kepentingan negara.

Hal itu diutarakan Presiden dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/5/2023) kemarin.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang dilaporkan turut hadir dalam pertemuan itu pun menambahkan cawe-cawe yang dimaksud identik dengan ikut bertanggung jawab dan tidak membiarkan.

Presiden disebut beberapa kali menyinggung soal sikap cawe-cawe itu di depan para pemimpin redaksi media massa.

”Ada lebih dari tujuh kali Pak Presiden mengatakan cawe-cawe,” kata GM News and Current Affairs Kompas TV, Yogi Nugraha, seperti dikutip dari Kompas.id.

Menurut Pemimpin Redaksi Kompas, Sutta Dharmasaputra, Presiden Jokowi menuturkan bahwa dirinya cawe-cawe untuk kepentingan yang positif dan bukan hanya urusan calon presiden dan calon wakil presiden.

” Cawe-cawe untuk negara, (untuk) kepentingan nasional. Bukan untuk kepentingan capres-cawapres,” kata Sutta menyitir pernyataan Presiden.

Menurut Sutta, Jokowi menyampaikan tentang betapa pentingnya kurun waktu selama 13 tahun mendatang untuk Indonesia supaya memanfaatkan bonus demografi.

Maka dari itu, kata Sutta, Presiden menilai Pemilu 2024 , 2029, dan 2034 sangat penting.

Diminta fokus kerja

Di sisi lain, sejumlah kalangan mengkritik sikap Jokowi yang cawe-cawe dalam urusan politik menjelang Pemilu dan Pilpres.

Salah satu partai politik yang mengkritik sikap Jokowi itu adalah Partai Demokrat.

Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra menilai cawe-cawe berarti melakukan sesuatu di luar wewenang dan tanggung jawab Jokowi sebagai Presiden.

“Seharusnya beliau menyampaikan, saya akan fokus dengan tugas dan tanggung jawab utama saya. Bukan malah menyampaikan saya akan cawe-cawe demi kepentingan negara,” sebut Herzaky dalam keterangannya, Selasa (30/5/2023).

Herzaky mengeklaim saat ini masyarakat lebih menginginkan Jokowi untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah sebelum lengser pada akhir 2024.

Salah satu yang ia sorot yakni masih tingginya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran.

Selain itu, pendapatan per kapita masyarakat juga tak banyak mengalami perkembangan jika dibandingkan pada zaman Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah.

“Fokus saja bekerja untuk rakyat di sisa masa kepemimpinannya, agar bisa meninggalkan hal baik untuk penerusnya,” ujar Herzaky.

Menurutnya, tugas utama Jokowi bukan mempengaruhi partai politik (parpol) untuk mengusung figur capres yang diinginkannya. Tapi memastikan gelaran Pemilu 2024 berjalan dengan baik.

“Tugas dan tanggung jawab utama Presiden Jokowi terkait kepemimpinan nasional itu memastikan pemilu berjalan dengan demokratis, jujur, dan adil, tanpa intervensi, intimidasi dan kecurangan,” ucap Herzaky.

Dinilai kolusi

Sikap cawe-cawe Jokowi dalam urusan politik menjelang Pemilu dan Pilpres justru dinilai sebagai perbuatan kolusi.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengaku bakal “cawe-cawe” di Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menunjukkan bahwa Jokowi adalah presiden partisan.

Dedi berpandangan, tindakan Jokowi selama ini menunjukkan bahwa sikap “cawe-cawe” atau intervensi tersebut bukan untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi politik pribadi.

“Apa yang ditunjukkan Presiden juga yang ia sampaikan, jelas menempatkan Jokowi sebagai presiden partisan. Secara umum bisa dianggap telah lakukan kolusi,” kata Dedi kepada Kompas.com, Selasa (30/5/2023).

Menurut Dedi, jika intervensi yang dilakukan demi kepentingan bangsa dan negara, Jokowi mestinya mengintervensi Mahkamah Konstigusi (MK) agar tidak membuat keputusan yang melanggar konstitusi.

Kemudian, mengintervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar tidak menjadi alat kekuasaan, atau mengintervensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Menteri Keuangan agar semua proses pemilu berjalan sesuai koridor konstitusi dan tepat waktu.

“Intervensi dalam hal pelaksanaan, sah saja karena memang tanggungjawab presiden, tetapi intervensi politis jelas tidak dibenarkan,” ujarnya.

Sementara itu, Dedi menilai, yang terjadi saat ini adalah Jokowi menentukan siapa capres yang diinginkan, berupaya memberikan fasilitas negara untuk pembahasan koalisi hingga mengucilkan partai lain yang berseberangan.

Ia lantas menegaskan, perbuatan tersebut jelas-jelas merupakan tindakan yang tidak etis sekaligus merusak wibawa kepala negara.

“‘Cawe-cawe’ Jokowi hanya untuk kepentingannya pribadi, keluarga, atau kelompok politiknya, imbasnya cukup berbahaya. Mulai dari potensi rusaknya tata kelola pemerintahan hingga menjadikan negara ini seolah milik personal,” kata Dedi.

(Penulis : Ardito Ramadhan, Tatang Guritno | Editor : Novianti Setuningsih, Dani Prabowo)