redaksiharian.com –
DEKLARASI pengusungan Ganjar Pranowo menjadi bakal calon presiden yang hendak diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Jumat (21/4/2023), diyakini menggoyang peta dukungan koalisi pengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilu Presiden 2024 .
Satu bulan sudah berlalu sejak itu. Waktu berjalan, tak kunjung ada deklarasi lain, baik untuk bakal calon presiden maupun kepastian komposisi koalisi pengusung, apalagi bakal calon wakil presiden.
“Pendaftaran kandidat, yang itu pasti juga sudah jelas koalisi pendukungnya, memang masih lama. Namun, jeda sejak deklarasi Ganjar ini terlalu lama,” kata peneliti Institut Riset Indonesia (Insis), Dian Permata, Rabu (24/5/2023).
Menurut Dian, ibarat ibu hamil hendak melahirkan, kontraksi koalisi memang sudah ada. Meski begitu, gelembung efek yang diharapkan dari pendeklarasian Ganjar sebagai bakal calon presiden dari PDI-P belum juga terjadi.
Hingga tulisan ini tayang, misalnya, baru Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai partai pemilik kursi di DPR yang telah mendeklarasikan dukungan ke Ganjar.
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dulu disinyalir akan mengalihkan dukungan ke Ganjar bila elektabilitas Airlangga Hartarto dari Partai Golkar tak kunjung melejit, ungkap Dian, hingga kini tak kunjung pula merealisasikan itu. Partai Golkar masih bergoyang ke sana ke mari.
Yang kemudian lebih menjadi pertanyaan publik, ujar Dian, adalah sosok yang akan menjadi bakal pendamping Ganjar di Pemilu Presiden 2024.
Setali tiga uang, dukungan untuk Anies Baswedan pun masih bertumpu pada tiga partai saja, yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Meski syarat dukungan sudah cukup, Anies belum jelas juga siapa yang akan digandeng menjadi bakal wakil calon presiden,” kata Dian.
Prabowo Subianto juga tak lebih konkret laju pergerakannya menuju Pemilu Presiden 2024. Selain keputusan internal Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pada 2022, Prabowo bahkan belum mendeklarasikan kembali kepastian berlaga di Pemilu Presiden 2024.
“Para kandidat dan partai politik masih bergerak di ruang hampa. Semua peta kemungkinan masih cair, kejutan belum tertutup, termasuk untuk kandidasi,” imbuh Dian.
Ketiga sosok yang dianggap paling santer kemungkinannya berlaga di Pemilu Presiden 2024 tersebut tampak masih sibuk berkeliling. Bacaannya, kata Dian, semua kandidat dan partai politik belum punya cukup keyakinan untuk berlaga, termasuk dalam penentuan pasangan bakal calon.
“Pengusungan Ganjar bak partitur dengan tempo empat per empat, sekarang malah melambat, bukannya tetap kencang,” ujar Dian memberikan analogi.
Kandidasi, koalisi, dan orkestrasi Jokowi
Satu hal lain yang juga cukup mendapat sorotan Dian adalah posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang Pemilu Presiden 2024. Menurut dia, Jokowi tengah memainkan orkestrasi tersendiri.
Pertemuan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, dengan Prabowo Subianto, sebut Dian, adalah contoh peristiwa terkini yang kasat mata memperlihatkan orkestrasi dari Jokowi.
Dian berpendapat, tidak mungkin kedua sosok itu bisa menggelar pertemuan begitu saja tanpa setidaknya “kula nuwun” ke Jokowi, apa pun motif dan tujuannya.
Orkestrasi Jokowi, lanjut Dian, sebelumnya juga telanjang terlihat pada saat penggaungan wacana Koalisi Besar dan bahkan ketika pengusungan Ganjar sebagai bakal calon presiden dari PDI-P.
Dalam wacana Koalisi Besar, misalnya, Jokowi mengundang langsung para petinggi partai politik koalisi pendukungnya di Pemilu Presiden 2014 dan 2019 untuk bertemu.
Partai Gerindra yang masih berkehendak mengusung Prabowo sebagai bakal calon presiden di Pemilu Presiden 2024—dan notabene bukan koalisi pendukung Jokowi di dua pemilu sebelumnya—diajak serta.
Satu-satunya dalih, Gerindra belakangan bisa disebut sebagai barisan koalisi Jokowi dalam konteks koalisi pemerintahan, bukan koalisi kandidasi.
Sebaliknya, Partai Nasdem yang adalah pengusung Jokowi di dua pemilu sebelumnya malah tidak disertakan dalam pertemuan-pertemuan itu. Padahal, Nasdem juga masuk dalam barisan koalisi pemerintahan, selain koalisi kandidasi.
Lalu, bersanding dengan wacana Koalisi Besar, Jokowi berkali-kali menyebut Ganjar dan Prabowo sebagai sosok yang layak mengisi kursi kepemimpinan nasional berikutnya, selain menyebutkan sejumlah kriteria sosok yang dinilai mampu untuk itu.
Bersamaan, elektabilitas Puan Maharani yang bisa disebut sebagai representasi trah Soekarno di PDI-P pun tak kunjung naik saat data survei melejitkan nama Ganjar. Sementara, tak dapat dimungkiri bahwa ketenaran Ganjar di luar internal partai tak lepas dari kerja-kerja eks relawan Jokowi.
Maka, kata Dian, patut diduga bahwa pematangan peta koalisi partai politik menuju Pemilu Presiden 2024 dan bahkan pengambilan keputusan Ganjar menjadi bakal calon presiden dari PDI-P tak terlepas dari orkestrasi Jokowi.
“Pencalonan Ganjar di PDI-P ibarat satu orkestrasi dengan dua partitur,” tegas Dian.
Partitur pertama, sebut Dian, tentu saja kehendak PDI-P untuk memenangi lagi kontestasi kepemimpinan nasional. Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum partai ini adalah pemegang partitur pertama.
Elektabilitas Puan yang tak pernah menembus angka lima persen dalam aneka survei, menurut Dian adalah pertimbangan utama Megawati merelakan petugas partai lain mengisi slot kandidasi Pemilu Presiden 2024, yang bisa saja diisi partai ini sekalipun tanpa koalisi.
Adapun sosok Ganjar, lanjut Dian, dipilih semata karena angka elektabilitas dalam aneka survei. Bagaimana pun, PDI-P tetap menginginkan posisi pemenang pemilu tetap dalam genggaman. Selain untuk pemilu presiden, harapannya penunjukan Ganjar juga memberikan efek ekor jas bagi pemenangan di pemilu legislatif.
Di sini, beragam ungkapan dukungan Jokowi untuk Ganjar patut disebut sebagai partitur kedua yang dimainkan dalam orkestrasi pengambilan keputusan di partai pemenang pemilu tersebut. Pemahaman tentang situasi, kebutuhan, dan peta internal partai menjadi bekal.
Dalam pengamatan Dian, Ganjar dan Prabowo adalah sandaran Jokowi selepas dua periode masa jabatannya sebagai presiden, siapa pun dari memenangi mereka berdua yang menang di Pemilu Presiden 2024. Gestur dan beragam pernyataan Jokowi jadi dasar pengamatan ini.
Sebelumnya, analis politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam, menduga ada kesepakatan tertentu di balik pencalonan Ganjar oleh PDI-P. Dia antara lain menyitir rumor pada 2014 yang menyebut ada kesepakatan pengusungan Jokowi sebagai calon presiden asalkan kepemimpinan partai tak diutak-atik.
“Mungkin ada kesepakatan serupa untuk Ganjar. Dengan Ganjar sebagai loyalis Jokowi, akan ada garansi dan proteksi politik untuk klan Jokowi. Jokowi juga ingin legacy dia setelah lengser terus berjalan,” papar Arif saat berbincang dengan Kompas.com, Senin (24/4/2023).
Sebagaimana bacaan Dian, Arif pun melihat PDI-P realistis saja melihat data elektabilitas Puan dan Ganjar. Pencalonan Ganjar, tegas dia, semata adalah penyikapan realistis politik hari ini di partai itu, demi mengamankan peluang pemenangan Pemilu Presiden 2024.
Meskipun, Arif juga tak melihat ada efek ekor jas yang kuat dari pencalonan Ganjar—tidak seperti ketika pengusungan Jokowi—bagi pendulangan suara untuk PDI-P di Pemilu Legislatif 2024. Para calon legislatif dari PDI-P di Pemilu Legislatif 2024 menurut dia tetap butuh kerja keras sendiri untuk mendulang suara dan merebut kursi parlemen.
Pengusungan Ganjar untuk Pemilu Presiden 2024 oleh PDI-P bisa dibilang cukup ganjil dan dini untuk ukuran partai ini. Namun, peta koalisi pun ternyata tetap tak kunjung jadi. Kandidasi tak segera pula bisa dipastikan siapa saja sosoknya.
Peneliti dan Direktur Eksekutif Nara Integrita, Ibrahim Fahmi Badoh, menyebut situasi seperti biasanya ataupun yang saat ini sama saja pada akhirnya merugikan pemilih.
Berdasarkan jadwal tahapan Pemilu Presiden 2024, pendaftaran bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden dialokasikan pada 19 Oktober-25 November 2023. Adapun masa kampanye berlangsung singkat saja, yaitu pada rentang 28 November 2023-10 Februari 2024, dengan hari pencoblosan dijadwalkan pada 14 Februari 2024.
Sistem kepemiluan, kata Fahmi, tidak menyediakan waktu yang cukup bagi kandidat untuk sosialisasi dan sebaliknya baig pemilih untuk tepat memilih. Padahal, pemilu serempak pada 2024 memberikan lebih banyak sodoran pilihan yang harus dipilih publik dalam satu waktu.
Fahmi menyebut saat ini koalisi sedang jadi bancakan elite yang masing-masing saling tarik menarik.
“(Dengan) yang bermain di belakangnya sedang memastikan sumber pendanaan pemenangan dan biasanya bersamaan kejutan-kejutan akan muncul, sekarang sudah mulai muncul, (termasuk) skandal publik yang akan muncul,” komentar Fahmi soal merayapnya perkembangan koalisi, Rabu (24/5/2023).
Khusus menyoal kejutan-kejutan yang mulai muncul dalam konteks koalisi dan regenerasi kepemimpinan nasional, Fahmi melihatnya lewat dua perspektif. Pertama, ada kepentingan mendiskreditkan lawan. Kedua, bisa jadi ada yang mencoba memberi gambaran kepada publik bahwa kepentingannya terancam.
Menurut Fahmi, di masa-masa ini pula akan muncul pengungkapan proyek-proyek bernilai raksasa yang seolah disalahgunakan untuk pemenangan kandidat tertentu. Ada juga, sebut dia, data yang diungkap otoritas negara tapi justru diredam dengan mulus.
“Mulai ada ‘dagangan’. Diketeng, ada. Ada juga yang dijadikan ‘jaminan’,” ujar Fahmi memberikan analogi.
Fahmi berpendapat, semua narasi kejutan ini tak dapat disangkal berkaitan dengan para elite yang kini sedang tarik ulur dalam wacana koalisi. Plot-plot pendanaan pemilu sedang digodok.
“Ini fenomena yang pada akhirnya juga bisa menjadi jebakan. Terlebih lagi bila kejutan itu terungkap saat pasangan calon sudah ditentukan, pasti akan jadi skandal politik dan akhirnya merugikan publik,” tutur Fahmi.
Alotnya koalisi dan penentuan kandidasi, menurut Fahmi juga masih kental diwarnai semacam motif saling menjatuhkan. Sesulit apa prosesnya, mungkin publik tidak tahu persis, tetapi warna dominan politik nasional selama 10 tahun terakhir juga adalah persoalan.
“Selama 10 tahun terakhir (para aktor politik) diajarkan berada di barisan yang sangat dominan. Bisa jadi (mereka) sekarang kekurangan pola untuk mendefinisikan bahwa mereka berbeda dan harus ada pergantian presiden,” papar Fahmi.
Fahmi melihat ada kegamangan yang kentara di jajaran partai politik. Dia pun menengarai PDI-P tak akan mendominasi hasil Pemilu 2024, bahkan bukan lagi penentu peta kandidasi Pemilu Presiden 2024.
Terlebih lagi, lanjut Fahmi, pemberitaan media memperlihatkan kesan kuat bahwa Jokowi masih memainkan orkestrasi tersendiri, termasuk di internal partainya, bermodal barisan dan posisi tawar publik yang dimiliki.
“Pada akhirnya, yang menentukan koalisi-koalisi ini adalah politik transaksional. Dalam waktu singkat harus meyakinkan pemilih sekaligus membangun kesolidan mesin pemenangan. Calon yang dilihat berpotensi menang sekarang pun bisa kalah karena tak dipersiapkan dengan baik,” ujar Fahmi.
Yang menjadi masalah, lanjut Fahmi, tidak hanya publik yang bakal kekurangan informasi tetapi juga sistem pemilihannya pun rentan diwarnai kecurangan.
“(Kecurangan) ini berpotensi cukup besar terjadi, karena kesiapan penyelenggara pemilu kali ini tak sebagus sebelumnya. Ada juga plotting partai politik ke penyelenggara pemilu yang menguat, tanpa ada pengawasan yang kuat,” ungkap Fahmi.
Menjadi tambahan masalah, relasi pegiat masyarakat sipil dan penyelenggara pemilu juga tak semesra beberapa waktu silam. Imbasnya, masyarakat sipil tak cukup berkesempatan memberikan peringatan untuk segera ada penyikapan. Bila pun penyikapan terjadi, itu tak semudah dulu juga.
Fahmi memperingatkan, titik rentan penyelenggaraan Pemilu 2024 juga bisa datang dari minimnya kontrol atas penyaringan integritas para calon penyelenggara pemilu periode pelaksana Pemilu 2024 yang kini bertahap disusun di tingkat daerah.
“Timsel ada tapi banyak peluang (intervensi) bahkan transaksional terjadi,” kata Fahmi.
Fahmi berharap penyelenggara pemilu membangun kesadaran dan menjadikan perhatian soal tantangan yang akan cenderung berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya.
“(Dengan mendapatkan cara) menjaga proses pemilu yang sudah berjalan pada saat di internal penyelenggara pemilu juga masih menata struktur ke bawah,” tegas Fahmi.
Dalam segala rentetan potensi persoalan—yang belum semuanya terpetakan gamblang di tulisan ini juga—, bolehkah berharap partai politik segera merampungkan urusan koalisi dan kandidasi? Apa lagi yang ditunggu?
Tentu, ini bila masih boleh ada asa bahwa kontestasi politik nasional bukan sekadar ajang transaksional berebut kekuasaan. Ini bila pemilih memang berharga dan dihargai dengan memberi mereka waktu memadai untuk berupaya mengenali sosok-sosok yang akan dititipinya mandat mengelola negara.
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI