redaksiharian.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikabarkan berencana mencabut moratorium atau penghentian sementara pendaftaran izin layanan financial technology (fintech) peer to peer lending atau pinjaman onine (pinjol) tahun ini.
Co-Founder & CEO Modalku Reynold Wijaya mengatakan, dengan pencabutan moratorium fintech lending diperlukan pengawasan baik dari industri maupun dari regulator.
Hal ini agar kegiatan usaha setiap penyelenggara fintech lending dapat dilaksanakan secara profesional dan bertanggung jawab.
Reynold menerangkan, pencabutan moratorium fintech lending juga merupakan salah satu cara memerangi pinjol ilegal .
“Hal ini tentu perlu diperkuat dengan ketentuan permodalan dan ekuitas yang ditetapkan oleh OJK,” imbuh dia.
Kecukupan modal merupakan salah satu cara untuk menentukan tingkat kesehatan perusahaan dan merupakan strategi untuk dapat bertahan dalam kondisi sulit.
Reynold menyebut, persyaratan permodalan dan ekuitas menjadi salah satu tolok ukur yang direncanakan dan akan diatur ke depannya.
Lebih lanjut, Reynold bilang, moratorium fintech lending akan membuat potensi masyarakat untuk mengakses layanan fintech semakin besar.
“Sehingga tentunya dapat mendukung inklusi keuangan di Indonesia,” kata dia.
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengatakan, penambahan perusahaan fintech berizin tentu akan meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.
Hal tersebut bertujuan untuk membuat masyarakat dan UMKM lebih memiliki akses atas layanan keuangan. Terutama untuk entitas yang selama ini belum terjangkau layanan keuangan konvensional seperti bank dan multifinance.
“Sebelum moratorium, ada puluhan fintech yang sedang berproses. Beberapa di antaranya masih komunikasi menanyakan kapan perizinan baru dibuka kembali,” ujar dia.
Pria yang karib disapa Kus itu membeberkan, fintech lending berusaha mengisi peran yang belum dapat digarap oleh layanan keuangan konvensional.
Sebagai gambaran, berdasarkan data Bank Dunia Kuseryansyah bilang, Indonesia memiliki kebutuhan layanan keuangan berupa kredit mencapai Rp 2.560 triliun.
Dari jumlah tersebut, layanan keuangan konvensional telah berkontribusi sekitar Rp 1.300 triliun. Sementara, fintech lending baru ambil porsi sebesar Rp 220 triliun.
“Jadi masih ada (kredit) gap Rp 1.100-an triliun per tahun,” imbuh dia.
Mulanya, Deputi Komisioner OJK Bambang Budiawan mengatakan, moratorium fintech lending kemungkinan akan dicabut paling cepat di kuartal ketiga tahun ini.
“Paling lambat di kuartal IV-2023. Kami dari regulasi enggak ada masalah dari pengawasan makin ke final,” ujar Bambang.
Bambang menerangkan nantinya para pemain baru diperbolehkan untuk mengajukan diri. Oleh karena itu, dia mengimbau saat ini bagi para peminat di P2P Lending agar memperiapkan diri sehingga prosesnya bisa cepat.
“Kalau dahulu harus 2 tahap, yakni izin prinsip dan izin operasional. Kalau sekarang directly bisa optional. Oleh karena itu, mereka harus siap dokumen, IT, modal, hingga syarat-syarat lainnya,” kata dia.
Sebelumnya, OJK secara resmi menghentikan pendaftaran izin fintech lending sejak Februari 2020.
Pemberhentian ini untuk memberikan waktu dalam penyempurnaan sistem pengawasan. Selain itu, moratoritum juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas industri fintech lending.
Sebagai informasi, total jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer lending atau fintech lending yang berizin di OJK ada sebanyak 102 perusahaan.
Adapun, perusahaan fintech peer-to-peer lending atau P2P lending pada kuartal I-2023 menyalurkan pinjaman mencapai Rp 56,70 triliun, atau tumbuh 6,17 persen secara tahunan.