redaksiharian.com – Sematan “rumah surga” telah diberikan karena hamparan hijau di seluruh halaman yang luas dengan pemandangan gunung serta air terjun yang indah. Tetapi tak terelakkan, hamparan hijau itu menjadi suram kecokelatan karena rumput-rumput yang rusak.

Itulah kondisi kontradiktif yang terjadi pada rumah Abah Jajang di Desa Karangjaya, Kecamatan Pasir Kuda, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Mengapa? Tak lain karena keindahan lingkungan rumahnya yang menjadi viral lalu didatangi bisa sampai seribu orang dalam satu hari. Bahkan, belum juga rumput itu kembali tumbuh, pada libur Lebaran yang lalu, halaman seluas 2 hektare itu sudah langsung dipadati lagi pengunjung yang penasaran dengan keindahan objek wisata yang viral .

Pengalaman sepertinya belum sepenuhnya mengajarkan tentang pelestarian lingkungan, di obyek wisata sekalipun. Akibatnya, kerusakan terjadi lagi, dan kali ini terjadi di rumah Abah Jajang .

Pengalaman yang terjadi pada 2015 seharusnya sudah memberikan pembelajaran bagi masyarakat wisatawan. Saat itu, kebun bunga amaryllis yang sering disebut sebagai lili hujan, bakung atau bunga bawang yang terdapat di Kab. Patuk, Gunung Kidul, Jawa Tengah, akhirnya hancur oleh orang-orang yang asyik berswafoto.

Kebun bunga itu juga viral karena banyak yang mengunggah kecantikannya di media sosial. Semakin viral , semakin banyak yang berbondong-bondong datang, tapi sayangnya juga merusaknya.

Pengalaman lain terjadi pada 2020, di tempat berbeda. Obyek wisata yang disebut sebagai lembah Selandia Baru-nya Indonesia, yaitu Ranu Manduro di Kab. Mojokerto, Jawa Timur, mendadak ramai karena viral di media sosial. Pemandangan hamparan hijau berubah jadi pemandangan manusia yang berjejal mengakibatkan kemacetan dan sampah berserakan.

Yang tidak viral pun, obyek wisata yang menjadi favorit sepanjang tahun mengalami hal serupa. Seperti kawasan Pantai Pangandaran, Kabupaten Pangandaran yang menemukan masalah klasik setiap momen liburan. Sampah bergelimpangan sampai jumlah totalnya mencapai ribuan ton.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jabar, Benny Achmad Bachtiar, mengatakan bahwa libur Lebaran kemarin memang menyisakan kondisi rusak pada beberapa objek wisata . Ia menyebutkan lagi rumah Abah Jajang di Curug Citambur, kawasan Pantai Pangandaran, serta yang mengalami kerusakan di area kebun edelweiss akibat terlindas ribuan pengendara motor trail.

“Namun, sebagai bentuk tanggung jawab, para pemerintah bekerja sama dengan unit terkait segera melakukan tindakan akibat peristiwa kerusakan tersebut. Seperti Bapak Gubernur Jawa Barat yang mengirimkan tim untuk memperbaiki rumput yang rusak, Pemkab Pangandaran melalui Dinas DLH yang mengerahkan 13 unit truk untuk mengangkut sampah, juga penutupan Kawasan rancaupas untuk sementara karena dilakukan penanaman kembali tumbuhan guna memulihkan ekosistem pasca kerusakan,” katanya di Bandung, Rabu, 24 Mei 2023.

Berjubelnya wisatawan di satu obyek wisata dalam waktu bersamaan memiliki istilah baru yang disebut overtourism . Dalam situs narabahasa.id, overtourism bermakna kepadatan turis atau pelancong di tempat berlibur.

Konteks mengenai dampak overtourism ini pun beragam. Hasil penelitian Garcia-Buades et al (2022) yang diulas di situs Universitas Pendidikan Indonesia menunjukkan bahwa overtourism memiliki dampak lingkungan, dampak sosial budaya, dan dampak ekonomi.

Benny Achmad Bachtiar mengatakan bahwa karena kepadatan yang melebihi kapasitas itu, beberapa objek wisata di Jabar yang menjadi tujuan favorit wisatawan untuk dikunjungi selama libur banyak yang rusak. Itu juga disebabkan kurangnya kesiapan pengelola dalam mengatasi jumlah pengunjung yang luar biasa banyaknya.

“Dan juga kesadaran wisatawan terhadap kebersihan, keamanan, amenitas, dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata masih rendah,” ujarnya.

Akibatnya, terjadi penurunan dalam aspek pengelolaan destinasi wisata yang seharusnya bisa membangun pengalaman berwisata yang nyaman serta menyenangkan bagi wisatawan. Kerugian lainnya adalah pemberitaan negatif yang akan membentuk citra negatif bagi daya tarik wisata di Jabar.

Karena itulah, kata dia, ia mengharapkan para pengelola destinasi wisata hendaknya menerapkan tindakan-tindakan saat terjadi overload. Misalnya, menutup pintu masuk, membatasi saat reservasi online, dan membatasi kapasitas pengunjung. Pengaturan itu pun bisa bekerjasama dengan polisi, penambahan personil dari Balawista, atau Akademi Relawan Indonesia (Akrin).

Untuk masyarakat wisatawan, ia pun menyarankan supaya mematuhi peraturan yang berlaku di tempat wisata , tidak merusak lingkungan, serta tidak membuang sampah sembarangan demi kenyamanan berwisata.

“Para wisatawan agar merencanakan wisata dari jauh-jauh hari untuk melihat beberapa alternatif wisata serta berkunjung ke Desa Wisata dengan suguhan tematik yang menarik, seperti agrowisata, kriya, dan kesenian. Para wisatawan dianjurkan untuk membawa kantung sampah pribadi sehingga sampah dapat dikemas dan dibuang ke tempat sampah yang telah disediakan oleh pengelola,” katanya.

Contoh-contoh tempat wisata yang rusak seperti disebutkan tadi memang bermula dari viral atau overexposed suatu objek wisata di media sosial.

Saat ada yang viral , tren gaya hidup sekarang ini seakan “menganjurkan” untuk ikut mengalami hal yang sama dan kemudian menunjukkannya di medsos.

Menurut sosiolog dari Universitas Padjadjaran, Desi Yunita, maraknya penggunaan medsos memudahkan orang untuk menunjukkan citra diri. Ketika penggunaan medsos semakin tinggi, keterlibatan pada sesuatu yang viral sudah menjadi tren atau gaya hidup baru.

“Selama ini, yang bisa menunjukkan citra diri hanya artis. Adanya medsos membuat semua orang punya kesempatan yang sama. Tinggal nanti dia akan cari konten seperti apa, supaya bisa viral , bisa heboh. Di dalam diri setiap orang memang punya keinginan untuk tonjolkan diri. Tetapi selama ini kesempatannya terbatas. Medsos membuat mereka bisa lebih eksis untuk yang follow dia,” ucapnya.

Terkait kesenangan masyarakat untuk terlibat dalam hal-hal yang viral , hal itu seringkali tidak berjalan beriringan dengan pengetahuan, etika, tata kehidupan, dan tata nilai yang memampukan masyarakat untuk memilah mana yang baik atau buruk.

Meski mereka melabeli diri sebagai wisatawan yang mencintai alam, wisatawan itu ada yang melakukan hal-hal yang tidak sesuai etika dan tata nilai. Misalnya mengambil tanaman langka di hutan, membuang sampah sembarangan, dan lainnya.

Perilaku abai terhadap lingkungan dan alam sekitar itu, kata Desi, dilatarbelakangi sikap manusia yang terbagi dalam 3 pandangan. Pertama adalah overestimate yang bermakna mendewakan alam. Pandangan yang biasanya muncul di kalangan aktivis lingkungan itu banyak melakukan hal ekstrem karena mendewakan alam supaya tidak rusak sama sekali.

Kedua, pandangan underestimate, yaitu merendahkan alam. Itu bisa muncul pada masyarakat yang terbatas dalam hal etika dan lingkungan, serta tidak ingin belajar tentang pengetahuan di luar dirinya sehingga tidak tahu apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan ketika berwisata di alam.

“Mereka suka yang viral , tapi abaikan lingkungan. Masyarakat yang punya pandangan underestimate pada alam, memandang alam hanya tempat yang dieksploitasi keindahannya, pemuas kebutuhannya saja. Mereka berkunjung ke objek wisata untuk senang-senang saja, tanpa berpikir yang mereka lakukan benar atau tidak,” ucapnya.

Pandangan ke tiga adalah pandangan harmonis dan ideologis kepada alam. Masyarakat yang memiliki nilai-nilai itu bisa berinteraksi dengan lingkungan secara seimbang. Mereka melihat alam tidak boleh digunakan berlebihan untuk keperluan manusia berlebihan, tapi secukupnya saja karena alam pun bagian dari manusia.

“Ketika berpikir begitu, maka merusak alam sama dengan merusak diri sendiri. Orang yang punya nilai itu akan berpandangan bahwa ketika alam sakit, maka manusia juga sakit,” kata Desi.

Menurut Desi, penyelesaian masalah itu haruslah secara terintegrasi. Itu dimulai dari kebijakan pemerintah yang harus terintegrasi dengan seluruh pengelola tempat wisata . Pemerintah yang memegang kebijakan harus tegas mengatur bahwa pengelola jangan hanya berpikir keuntungan ekonomi sehingga yang penting pengunjung membludak.

“Harus diterapkan ekowisata lingkungan yang mengintegrasikan bisnis tapi tetap memerhatikan lingkungan. Pemerintah harus tegas karena masyarakat biasanya baru sadar ketika sudah banjir, longsor, terjadi abrasi pantai, dan lainnya karena kepentingan ekonomi itu,” ujarnya.

Diakuinya bahwa mengubah perilaku orang tidaklah mudah, apalagi perilaku kolektif dari seluruh masyarakat wisatawan. Namun, ia juga mengapresiasi para aktivis gerakan lingkungan yang terus melakukan edukasi dan advokasi.

Gerakan mereka itupun sebaiknya dilakukan secara terintegrasi. Apalagi, kebanyakan gerakan itu membawa isu masing-masing yang gerakannya pun terpisah. Misalnya antara gerakan tidak buang sampah ketika berwisata dengan penghentian pemakaian sedotan plastik.

“Penyelesaiannya tidak bisa dimulai dari individu untuk sadar, tapi lebih baik dilakukan secara makro dengan kebijakan pemerintah yang tegas. Pemerintah harus tegas karena banyak titik-titik lingkungan yang harus dijaga keseimbangannya. Dari sisi perilaku individu, harus terus diedukasi supaya memiliki pandangan yang harmonis dan dialogis dengan alam,” tutur Desi.***