redaksiharian.com – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut kekuasaan junta militer tidak sampai 50 persen di Myanmar .
Mahfud mengatakan, kekuasaan junta militer hanya berkisar 40-45 persen. Sisanya dikuasai oleh suku-suku dan kelompok primordial yang memberontak kepada junta militer.
“Kekuasaan junta militer sekarang di sana kan cuma 40-45 persen. Sisanya terbagi ke suku-suku, kelompok-kelompok primordial, sehingga tidak mudah,” kata Mahfud di media center KTT ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (9/5/2023) malam.
Karena dikuasai oleh pemberontak, ia menyarankan Myanmar bekerja sama dengan negara-negara ASEAN agar mampu menyelesaikan konflik.
Sebab bagaimana pun, menurut Mahfud, konflik yang terjadi menimbulkan ancaman bagi warga sipil.
“Justru karena tidak mudah itu, mari bekerja sama dengan negara-negara ASEAN. Kita bantu bersama agar demokrasi bisa tumbuh, masyarakat juga bisa terlindungi hak-haknya,” ujar Mahfud.
Adapun isu Myanmar dibahas Mahfud karena menjadi salah satu topik dalam rapat Dewan Politik dan Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Council Meeting/APSC) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, hari ini.
Mahfud mengungkapkan, dalam pertemuan dibahas soal sikap Myanmar tidak responsif terhadap seruan negara blok Asia Tenggara dalam menyelesaikan konflik di negaranya.
Negara yang tergabung dalam ASEAN menginisiasi Konsensus Lima Poin (5PC), yaitu referensi utama bagi ASEAN untuk membantu Myanmar keluar dari krisis politiknya.
Konsensus Lima Poin terdiri dari menghentikan kekerasan, menjalin dialog konstruktif untuk mencapai solusi damai, dan menunjuk urusan khusus ASEAN untuk Myanmar demi memfasilitasi proses dialog.
“Kita bicarakan sikap Myanmar yang tidak responsif terhadap seruan negara ASEAN yang lain, sehingga tadi tidak hadir. Karena kita tadi minta dulu sikapnya terhadap demokrasi bagaimana,” kata Mahfud.
Sebagai informasi, situasi di Myanmar menjadi tidak kondusif usai junta militer mengkudeta pemerintahan pada 1 Februari 2021.
Junta militer menculik Presiden Myanmar Win Myint hingga penasihat negara sekaligus ketua Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) Aung San Suu Kyi.
Karena kudeta tersebut, warga di Myanmar akhirnya melakukan demo besar-besaran menolak junta militer. Tetapi, junta militer menggunakan kekerasan untuk melawan warga.