redaksiharian.com – Jakarta memiliki banyak masjid kuno dan bersejarah yang sampai saat ini masih berdiri tegak.

Masjid-masjid bersejarah itu memiliki keunikannya masing-masing, baik dari segi sejarah ataupun bangunannya yang ikonik.

Jika tertarik menjelajahi masjid-masjid bersejarah di Jakarta, berikut beberapa masjid yang sempat Kompas.com kunjungi bersama Kreatif Jakarta ketika melaksanakan tur jalan kaki belum lama ini.

Itinerary sehari jelajah masjid di Jakarta

1. Masjid Al-Ma’mur

Perjalanan jelajah masjid bisa diawali dengan menyambangi Masjid Jami Al-Ma’mur di Jalan Raden Saleh Raya Nomor 30, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Masjid ini adalah peninggalan dari maestro lukis populer Indonesia yakni Sjarif Boestaman atau yang akrab disebut Raden Saleh.

Menurut Pemandu Perjalanan Wisata Kreatif Jakarta, Ira Lathief, masjid yang dibangun pada 1890 itu merupakan surau atau mushala pada masa awal pembangunannya.

“Ini awalnya surau dan akhirnya dipugar atau diperbarui,” kata Ira dalam tur Jelajah Masjid oleh Wisata Kreatif Jakarta di Masjid Al-Ma’mur, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (1/4/2023).

Masjid Jami Al-Ma’mur pernah menjadi tempat berkumpulnya para tokoh nasional, seperti Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan KH Mas Mansyur.

2. Masjid Jami Angke

Setelah dari Masjid Jami Al-Ma’mur kamu bisa melanjutkan ke Masjid Jami Angke yang berlokasi di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I Nomor 1, Angke, Tambora, Jakarta Barat.

Jarak dari Masjid Jami Al-Ma’mur ke Masjid Jami Angke yakni 13 kilometer atau memakan waktu tempuh lebih kurang 30 menit menggunakan mobil.

Letak masjid ini cukup tersembunyi karena berada di tengah permukiman penduduk yang padat.

Adapun masjid ini berdiri pada tahun 1761, saat masa kepemimpinan Pangeran Tubagus Angke atau lebih dikenal dengan Pangeran Jayakarta II.

Bila dihitung, maka usianya sudah lebih dari dua abad.

3. Masjid Langgar Tinggi

Dari Masjid Jami Angke, perjalanan bisa dilanjutkan ke Masjid Langgar Tinggi di Jalan Pekojan Raya Nomor 43, Pekojan, Jakarta Barat.

Lokasinya hanya 2 Km dari Masjid Jami Angke atau memerlukan waktu tempuh sekitar 7 menit perjalanan menggunakan mobil.

Adapun masjid ini termasuk salah satu masjid tertua di Jakarta yang dibangun tahun 1829.
Ira Lathief mengatakan, awalnya masjid ini dibangun oleh seorang saudagar Arab asal Yaman Hadarmaut bernama Said Naum.

“Dia tokoh istimewa dia punya banyak tanah di mana-mana, sampai-sampai mewakafkan tanah di TanahAbang yang sekarang jadi rumah susun,” kata Ira dalam acara Jelajah Masjid di Masjid Langgar Tinggi, Pekojan, Jakarta Barat, Sabtu (1/4/2023).

Masjid ini tidak terlalu besar, oleh karena itu diberi nama Langgar Tinggi. Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, “langgar” memiliki arti masjid kecil tempat mengaji dan shalat, tetapi bukan shalat dengan banyak jemaah, seperti shalat Jumat.

Masjid ini juga dianggap menjadi saksi sejarah perkembangan kampung Arab yang ada di kawasan Pekojan.

4. Masjid Jami An-Nawier

Jarak Masjid Langgar Tinggi dengan Masjid An-Nawier cukup dekat dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki 550 meter atau sekitar 3 menit perjalanan.

Masjid yang berusia 263 tahun ini bergaya neoklasik dan kental dengan nuansa kolonial.

Hal itu terlihat dari arsitektur dan interior dalam masjid yang banyak menggunakan pilar-pilar khas era tersebut.

Tempat berwudhu di area depan masjid juga diberi sentuhan gaya Eropa. Cat bagian dalam masjid didominasi warna putih dan emas.

Lampu-lampu yang digunakan juga masih bernuansa antik khas tempo dulu. Meski begitu, masjid ini juga memiliki sentuhan nuansa Arab berkat adanya mimbar.

5. Masjid Keramat Luar Batang

Aktivitas jelajah masjid bisa ditutup dengan datang ke Masjid Keramat Luar Batang. Lokasinya ada di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.

Hanya perlu waktu sekitar 10 menit perjalanan menggunakan mobil untuk bisa sampai ke Masjid Luar Batang dari Masjid Jami An-Nawier.

Adapun masjid itu dianggap keramat oleh warga setempat karena terdapat makam sang pendiri, yakni Habib Husein bin Abubakar Alaydrus.

Masjid ini awalnya adalah surau namun setelah Habib Husein meninggal dunia pada 1756, surau itu diubah menjadi masjid dan dijadikan tempat pemakaman Habib Husein.