redaksiharian.com – Setiap anak pasti memiliki ayah. Akan tetapi, tak semua anak beruntung memiliki ayah yang terlibat aktif dalam hal pengasuhan.

Fenomena tersebut kerap disebut sebagai fatherless atau father hunger, yakni anak tumbuh tanpa kehadiran ayah baik secara fisik maupun psikologis. Sekali pun ada, ayah tidak berperan maksimal dalam pengasuhan anak.

Indonesia disebut berada di peringkat ke-3 dalam menyandang status sebagai Fatherless Country. Topik mengenai fenomena ini kembali mengemuka seiring dengan peningkatan literasi, pemahaman masyarakat terhadap kesetaraan gender, serta maraknya berbagai kasus kekerasan dan kriminal, yang ketika ditarik ke belakang maka salah satu penyebab terbesarnya adalah absennya figur ayah dalam pengasuhan anak.

Berbagai literasi menyebutkan bahwa fatherless terjadi karena reduksi peran gender tradisional di dalam rumah tangga, terutama mengenai pengasuhan dan mendidik anak. Reduksi peran gender ini memosisikan sang ibu sebagai penanggung jawab penuh untuk mendidik anak.

Padahal, pada hakikatnya, mendidik anak merupakan tugas dari kedua orang tua, yakni ayah dan ibu. Setiap ayah maupun ibu memiliki masing-masing peran penting dalam proses mendidik anak. Jika salah satu peran tersebut tidak terpenuhi, proses pengasuhan menjadi timpang, dan akan memicu terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak di kemudian hari.

Pegiat pengasuhan keayahan yang merupakan salah seorang pendiri Komunitas Ayah ASI Bandung Veby Mayfriandi menuturkan, dari sudut pandang laki-laki, budaya patriarkis yang kental di Indonesia memegang peranan penting terhadap maraknya fenomena fatherless di Indonesia. Sudut pandang tradisional itu menyebutkan bahwa tugas utama seorang ayah adalah mencari nafkah, sedangkan mengurus anak adalah tanggung jawab sang ibu.

Pengasuhan seorang anak laki-laki -yang pada akhirnya akan menjadi seorang suami kemudian ayah, juga memegang peranan penting lainnya. Ketika kecil, misalnya, anak laki-laki kerap dibiasakan untuk menyukai hal-hal seperti mainan mobil-mobilan, senjata, militer, dan hal-hal yang dianggap memicu maskulinitas.

“Jarang rasanya ada anak laki-laki yang dibiasakan untuk ikut menghidangkan makanan di atas meja, atau melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Anak laki-laki yang tumbuh dengan pola pikir tersebut, biasanya akan berpikir bahwa tugas utamanya adalah mencari nafkah. Urusan rumah tangga sampai ke pengasuhan anak, merupakan urusan domestik istri,” tutur Veby.

Di sisi lain, Veby mengakui bahwa banyak juga para ayah yang tidak menyadari bahwa kehadirannya di dalam pengasuhan anak, merupakan suatu hal penting yang begitu menentukan pertumbuhan dan perkembangan sang anak. Mereka berpikir bahwa peran terbesar yang bisa dilakukan untuk keluarganya yakni mencari nafkah. Maka, hal-hal yang dianggap bisa mengganggu kelancaran pencarian nafkah, bisa direduksi sedemikian mungkin termasuk penyediaan waktu dan kehadiran untuk keluarga.

Kondisi demikian diperkuat oleh sistem di Indonesia yang masih memungkinkan praktik fatherless tumbuh subur. Sebut saja, waktu cuti untuk menemani istri yang baru saja melahirkan (parental leave) yang rata-rata hanya satu hingga tiga hari. Durasi parental leave di tanah air jauh berbeda dengan yang terjadi di negara lainnya, yang berada pada hitungan minggu atau bahkan bulan.

“Padahal, keterlibatan dan bonding seorang ayah terhadap anaknya dimulai dari saat ia menemani istri di fase kehamilan dan postnatal. Katakanlah, itu merupakan pintu gerbang keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan anak secara aktif,” kata Veby.

Kondisi lingkungan sekitar termasuk keluarga, juga disebutkan Veby memegang peranan penting dalam menumbuhkan dan mendorong kepedulian para ayah untuk terlibat dalam pengasuhan anak. Sayangnya, masih banyak lingkungan masyarakat yang menyematkan stigma negatif pada kaum ayah yang terlibat aktif dalam urusan rumah tangga dan pengasuhan anak.

“Misalnya, sebutan suami-suami takut istri itu tak jarang membuat para suami enggan ketika harus pulang untuk menyelesaikan urusan pekerjaan rumah tangga, atau bertukar peran dengan istri dalam mengasuh anak-anak,” tuturnya.

Veby juga menyebutkan bahwa dukungan istri memegang peranan utama. Dengan kata lain, para istri juga harus sabar memberikan pemahaman. Di kalangan masyarakat, banyak pula istri yang belum paham mengenai pembagian peran dan bagaimana mengundang keterlibatan pengasuhan anak dengan suami.

“Biarkan ayah memiliki keseruannya sendiri mengurus anak tanpa diinterupsi istri, karena kan sering juga ketika ayah sedang mengasuh anak, istri protes tentang berantakan, ketidaksesuaian cara yang dilakukan ayah dengan ibu, sehingga banyak juga ayah yang akhirnya jadi malas mengasuh anak,” ucapnya.

Psikolog yang juga merupakan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung Dinda Dwarawati menyebutkan, berbagai riset yang telah dilakukan di Indonesia dan berbagai negara di dunia menyebutkan bahwa terdapat banyak dampak yang bisa lahir dari fenomena fatherless .

“Yang paling tinggi adalah terkait kenakalan anak-anak. Misalnya, anak jadi rentan melakukan kekerasan, bahkan aksi kriminal. Atau, agresi yang menyebabkan anak gampang marah,” kata Dinda.

Ketua Unit Layanan Psikologi Terpadu (ULPT) Unisba ini juga menyebutkan, dampak lain yang biasanya terkait pendidikan adalah anak yang sering kali bolos sekolah atau memiliki motivasi yang rendah dalam belajar. Anak juga rentan bermasalah di aspek emosi, sehingga menjadi gampang cemas atau bahkan merasakan depresi. Kemampuan berbahasa dan menyelesaikan masalah (problem solving) pada anak, juga ditentukan oleh pengasuhan ayah.

Hal tersebut disebabkan karena ketiadaan figur otoritas, yang biasanya dipegang oleh sosok ayah sebagai “nahkoda” rumah tangga. Anak-anak yang tidak mendapatkan figur ayah dalam pengasuhan, biasanya menjadi pribadi yang tidak taat terhadap aturan dan berperilaku seenaknya.

“Bagi anak laki-laki, ketika tidak ada figur ayah, maka tidak ada role model dalam menjalankan perannya sebagai laki-laki. Itu yang pada akhirnya sering kali melahirkan kesalahan dalam proses identifikasi gender. Pada ranah ini, beberapa memutuskan untuk menjadi gay atau bahkan lesbian karena faktor trauma,” kata Dinda.

Faktor trauma tersebut, misalnya didapatkan ketika sang ibu merasakan beban ganda dalam mengurus anak, sehingga berpotensi stres hingga depresi.

“Bukan tidak mungkin, pelampiasannya adalah kepada anak. Ini yang menjadi berbagai permasalahan pada keluarga-keluarga yang fatherless ,” tutur Dinda, yang juga merupakan Anggota Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi) Jawa Barat ini.

Banyak pula anak-anak yang memiliki ayah, tetapi tidak mendapatkan pendampingan dan pengajaran dari sosok ayah. Fenomena fatherless ini dapat menjadi penjara baru bagi anak di rumah. Sehingga, penting untuk menguatkan peran ayah dari aspek loving, coaching, dan modelling.

“Memang terdengar klise, tapi mau tidak mau, komunikasi dan diskusi di dalam keluarga harus dilakukan secara klise. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan tidak bisa dilakukan hanya ketika week end atau sesuai mood saja. Pembagian peran dari ayah dan ibu, mutlak harus dilakukan,” kata Dinda.

Dari situ, sikap saling menghormati (respect) akan terbangun. Tidak ada tanggung jawab yang diserahkan kepada salah satu pihak, akan tetapi dilakukan pembagian peran.

Untuk rumah tangga yang bercerai atau ayah yang meninggal, Dinda menyarankan untuk tetap menghadirkan figur ayah dan ibu secara lengkap.

“Kalau ternyata misalnya perceraian atau kematian membuat salah satu pihak tidak hadir, maka figur pengganti tetap harus ada. Misalnya, kalau tidak ada ayah, harus dihadirkan figur kakek, om, atau kakak laki-laki yang bisa menjadi role model. Kalau benar-benar tidak ada sama sekali, paling tidak bisa dihadirkan tokoh yang bisa mengakomodir hal tersebut,” tutur Dinda.***